Minggu, 05 Mei 2013

Srikanti, si Batu Yng Menangis

Penulis: Langit dan Fera Nurani | Editor : Hamzet, Edi Kusumawati
Desa Watu Kantil
Desa Watu Kantil adalah sebuah desa yang terletak di kaki bukit Gunung Lumbung. Merupakan sebuah desa yang aman dan tentram dengan penduduknya mayoritas bekerja sebagai petani. Ditepi jalan desa tersebut terdapat sebuah batu setinggi manusia, batu yang selalu basah dan tidak pernah kering, batu yang selalu mengeluarkan air. Orang menyebutnya sebagai batu yang menangis.

————————————-
Alkisah, di desa tersebut terdapatlah seorang janda dengan satu anak gadisnya. Janda tersebut bernama Nyi Jamilah dan anak gadisnya bernama Srikanti. Nyi Jamilah sendiri sebetulnya tidak memiliki sawah, sehari-hari dia bekerja sebagai buruh tani di sawah-sawah milik tetangga. Uang hasil buruh dia gunakan untuk keperluan sehari-hari.

Hari itu seperti biasa, Nyi Jamilah menyiapkan makanan terlebih dahulu sebelum pergi bekerja. Hari ini hanya ada nasi putih dan tempe goreng, tidak ada ikan seperti biasanya.

“Kok hanya tempe mak lauknya?” Srikanti sang anak bertanya dengan wajah ditekuk.
“Hanya ada ini nak, emak belum bisa beli ikan. Hari ini emak mau bekerja, mudah-mudahan besok bisa beli ikan untuk lauk”, Nyi Jamilah berkata dengan sabar dan penuh kasih sayang.
“Bener ya mak, jangan bohong. Aku juga mau beli baju baru mak, kayak baju yang dipakai Roro anaknya Nyi Ireng”, Srikanti berkata sambil mulutnya penuh nasi dan tempe.

Nyi Jamilah hanya mengangguk demi menyenangkan anak semata wayangnya, Srikanti.
Demi menyenangkan anaknya, Nyi Jamilah rela bekerja banting tulang pergi pagi pulang petang tanpa kenal lelah. Minggu lalu Srikanti minta dibelikan sandal baru, dan Nyi Jamilah sudah membelikannya meski harus mengumpulkan sedikit demi sedikit uang hasil buruhnya. Padahal sendal jepitnya sendiri sudah tak layak pakai, di ikat sana sini dengan tali plastik. Dan hari ini diapun harus kembali giat bekerja untuk mengumpulkan uang demi membelikan baju baru untuk Srikanti anaknya, meski bajunya sendiri sudah kumal karena tidak pernah membeli yang baru.

Saat hendak menuju sawah, di ujung jalan kampung Nyi Jamilah berpapasan dengan seorang tetangganya yang baru pulang dari sungai. Tangan kanannya terdapat keranjang berisi penuh cucian, tangan kirinya menenteng jerigen air.
“Nyi Jamilah rajin pisan, pagi-pagi sudah mau ke sawah, sendirian saja Nyi? Dimana Srikanti? Kenapa tidak membantu?”, Nyi Markonah si tetangga bertanya. Seperti juga tetangga-tetangga yang lain, selalu menanyakan perihal Srikanti yang tidak pernah membantu Nyi Jamilah.
“Ada di rumah Nyi. Mungkin belum terbiasa ke sawah, nanti kapan-kapan saya juga akan ajak dia bantu saya Nyi”

Itulah jawaban Nyi Jamilah, jawaban yang sama saat para tetangganya bertanya mengenai Srikanti.
Jauh di lubuk hatinya, Nyi Jamilah juga sebetulnya ingin dibantu oleh anaknya mencari nafkah, demi kebutuhan bersama, tapi Srikanti selalu marah-marah bila Nyi Jamilah mengutarakan keinginanya mengajak Srikanti ke sawah.

Di suatu pagi Srikanti menagih janji kepada emaknya, meminta uang untuk membeli baju baru.
“Mana mak uang untukku buat beli baju?”

Nyi Jamilah mengeluarkan beberapa lembar uang dan beberapa kepingan uang yang berhasil di kumpulkan beberapa hari ini dan menyerahkannya kepada Srikanti.
“Hanya segini mak?” Terlihat Srikanti kurang puas setelah menghitung jumlahnya.
“Masih ada ini, tapi kalau ini di pakai besok kita nggak makan nak”, Nyi Jamilah mengeluarkan satu lembar lagi uang sisanya, tanpa basa basi dan memperdulikan kata-kata emaknya, Srikanti mengambil uang tersebut dari tangan Nyi Jamilah.

“Mak hari ini juga, antarkan aku ke pasar, aku mau beli baju baru.”
Nyi Jamilah menurut, dan rela tidak ke sawah demi menemani anaknya ke pasar. Saat keduanya berjalan menuju ke pasar, Srikanti tidak menginginkan emaknya berjalan di sampingnya, ia menyuruh emaknya berjalan di belakangnya. Saat Nyi Jamilah bertanya alasanya, Srikanti menjawab karena malu berjalan dengan emaknya yang memakai baju kumal dan sandal jepit yang di sambung sana-sini.
Tiba di Pasar, Serikanti membeli sepotong baju dan menyuruh emaknya untuk menunggu di jarak yang cukup jauh darinya. Sakit hati Nyi Jamilah di perlakukan seperti itu oleh anaknya sendiri. Apalagi saat di jalan tadi, dia harus berjalan tanpa alas kaki, karena sambungan sendal jepitnya putus.
Saat berjalan pulang, Nyi Jamilah kembali berjalan di belakang Srikanti dengan jarak yang cukup jauh sambil menenteng sendal jepitnya.

Di tepi jalan saat hendak pulang, sayup-sayup terdengar suara beberapa gadis sedang mengobrol dengan Srikanti, dengan suara yang ceria dan tawa yang membahana. Nyi Jamilah menunggu kira-kira 6 meter di belakang Srikanti.

“Itu siapa, Sri?” Terdengar suara seorang gadis bertanya sambil menunjuk ke arah Nyi Jamilah.
Dengan tatapan sombong Srikanti melirik Nyi Jamilah yang berdiri beberapa meter di belakangnya sambil menenteng sendal jepitnya.

“Oh, itu orang yang bekerja di rumahku” Srikanti menjawab dengan muka sinis.
“Pembantu kamu maksudnya?” Tanya salah satu gadis.
“Iyalah, memang siapa lagi”

Sedih hati Nyi Jamilah di anggap sebagai pembantu oleh anaknya sendiri. Tanpa memperdulikan apapun, dia beranjak pergi meninggalkan Srikanti dan ketiga temannya, dengan membawa kepiluan yang mendalam atas perlakuan anaknya tersebut.

Hari demi hari, perilaku Srikanti tidaklah berubah menjadi baik, bahkan semakin sombong dan angkuh, selalu minta uang kepada emaknya untuk membeli baju baru, sendal baru, dan lain-lain, tanpa memperdulikan perasaan emaknya yang pilu atas tingkah lakunya. Kepada teman-temanya yang berada di lain kampung, Sri memperkenalkan emaknya sebagai pembantunya.

Bahkan hari ini, saat emaknya mengantarkan dia membeli sendal baru ke pasar, dan saat berjumpa teman-temannya yang dari lain kampung, Sri melemparkan uang koin ke emaknya di depan teman-temannya.

“Nih ambil untukmu!” Teriak Sri dengan angkuhnya.
Nyi Jamilah benar-benar tidak tahan dengan perilaku Sri anak kandungnya. Ia menangis dan mendekati Sri.

“Benarkan saya ini pembantumu nak?” Tanya Nyi Jamilah dengan pilu.
“Ya benar, memang kamu siapa kalau bukan pembantuku?”
“Saya adalah orang yang melahirkan kamu nak, saya orang yang membesarkan kamu”
Teman-teman Sri saling berpandangan mendengar pengakuan Nyi Jamilah.
Srikanti yang merasa malu langsung menampar Nyi Jamilah. Seketika itu Nyi Jamilah jatuh tersungkur ke tanah.

“Jangan sembarangan mengaku-ngaku bahwa aku anakmu, kamu tidak pantas jadi ibuku. Lihat dirimu sendiri, pakaianmu kumal, compang-camping, bau, tubuhmu tua renta, mana pantas menjadi ibuku? Lihatlah aku yang cantik jelita, bajuku bagus-bagus!”
Nyi Jamilah bangkit berdiri dengan perasaan pilu.

“Baiklah nak, bila kamu memang bukan anakku, maka kamu memang manusia. Tapi bila kau adalah anakku, maka kamu adalah batu yang tidak punya hati dan perasaan.”

Seketika itu pula mendung bergelayut dan petir menyambar tubuh Srikanti. Dia membeku, membisu, dan membatu. Ia menangis, memandang ibunya dengan tatapan sesal, ingin memohon ampun, namun nampaknya takdir sudah berkata lain, ia di gariskan untuk menjadi batu. Karena kesombongannya terhadap orang tua, kedurhakaannya terhadap ibunya. Srikanti telah menjadi batu. Yang kini menjadi nama desa dan di sebut dengan Watu Kantil.

Srikanti yang membatu.

Ilustrasi Srikanti menjadi batu (https://lh3.googleusercontent.com/)
Keterangan:
Watu = Batu, Kantil = Kanti (dari nama Srikanti)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar