Sabtu, 11 Mei 2013

Kakek Penjual Gulali

Sabtu, 11 Maret 2013



Bel istirahat baru saja berdentang. Abner dan kawan-kawannya berhamburan keluar kelas dengan riang dan rasa lapar. Beberapa anak langsung menuju kantin sekolah. Beberapa lainnya ada yang memilih bermain. 

Abner, Dennis dan Gilang menuju lapangan depan. Seperti biasa, ketiga anak itu beradu kelereng. Di sana, beberapa kakak kelas dan adik kelas sudah menunggu.

"Eh, tapi aku mau jajan dulu di luar," ujar Dennis. "Ikut yuk!" Dia memberi kode pada Abner.

Abner langsung mengikuti Dennis. Mereka berangkulan menuju gerbang sekolah.

"Mau beli apa sih?" tanya Abner.
"Gulali," jawab Dennis.
"Oh," bibir Abner membulat.

Sampailah mereka di depan penjual gulali, seorang kakek tua yang sangat kurus. Gulali itu sejenis penganan yang dibuat dari pintalan gula yang dibakar terlebih dahulu. Bentuknya beraneka ragam; ada binatang, bunga,   peluit, pesawat dan masih banyak lagi. 

"Kamu mau?" tanya Dennis.
Abner menggeleng lantaran teringat kata-kata mamanya pagi tadi. "Jangan jajan sembarangan kalau tidak ingin sakit perut!". Tapi, sejujurnya dia ingin mencicipi makanan yang sering dibeli anak-anak itu. Kakek tua itu mencomot gula panas yang begitu lentur dari wajan, membentuk sebuah pesawat mungil yang diminta Dennis. Beberapa anak lain mengantri dengan sabar.

"Enak?" tanya Abner.
"Manis. Tapi, ini masih panas!" kata Dennis seraya tertawa. "Yuk! Nanti keburu masuk!"

Abner berlari di belakang Dennis. Tapi sesekali dia menoleh ke arah kakek penjual gulali yang duduk di bawah terik matahari.
**
Dennis dan Gilang baru saja dijemput orangtuanya. Tinggallah Abner sendiri, berdiri di trotoar menunggu mamanya menjemput. Beberapa meter darinya, kakek penjual gulali tengah sibuk membuat burung merak dari gula. Diamatinya kakek itu. Ada iba yang berdesir di dadanya. Namun Abner tak pernah berniat membeli gulali lagi seperti tempo hari saat ia menemani Dennis. Sekarang yang ia pikirkan adalah rasa kasihan karena kakek penjual gulali itu kepanasan. Anehnya, pria beruban itu tetap tersenyum pada anak-anak.
Abner tiba-tiba punya ide membelikan sebuah topi anyaman yang lebar agar kakek penjual gulali tidak kepanasan. Dia ingat, Pak Parjo tetangganya adalah seorang penganyam topi dan sesampai rumah nanti dia akan ke rumah Pak Parjo untuk menanyakan harga topi.
**
"Harga topi berapa, Pak?" tanya Abner sambil berteriak.
Pak Parjo yang sedang menata dagangannya menoleh kaget.
"Eh, Cah Bagus! Kenapa? Mau beli? Hah? Harganya tujuh ribu," jawab Pak Parjo.
"Mahal!"
"Boleh kau tawar, Cah Bagus!"
"Lima ribu ya!"
"Bolehlah."
"Tapi aku ngumpulin uang saku dulu!" kata Abner lalu pergi.
Hari terus berlalu. Abner menyimpan uang sakunya agar bisa membeli topi anyaman dalam lima hari. Setelah itu dia akan memberikannya pada kakek tua penjual gulali yang kepanasan. Begitu uangnya terkumpul, Abner langsung pergi ke rumah Pak Parjo. Dia membeli sebuah topi anyam berwarna hijau.
"Buat siapa?" tanya mamanya saat berpapasan dengan Abner di ruang tamu.
"Buat kakek penjual gulali di depan sekolah," kata Abner.
**
Waktu Abner sampai di sekolah, ia tidak menjumpai kakek penjual gulali. Dia pikir, kakek itu sebentar lagi pasti datang. Mungkin karena Abner berangkat terlalu pagi. Tapi, biasanya kakek penjual gulali sudah siap dengan dagangannya saat bel istirahat berbunyi.
Saat istirahat, Abner tidak keluar kelas karena mengerjakan prakarya bersama teman-temannya. Namun, ia teringat kakek penjual gulali lagi. 
"Keluar yuk!" ajak Abner.
"Hah? Sebelum pulang prakarya harus dikumpulkan! Mana bisa keluar??" kata Dennis.
Waktu terasa lebih panjang ketika kita sedang menanti. Abner berharap bel pulang segera dibunyikan agar ia bisa memberikan topi anayaman itu pada kakek penjual gulali. Dan,
Tettt.. tetttt...!!!
Abner keluar paling awal. Ia berlari menuju gerbang dan dia terpaku. Tempat di mana kakek penjual gulali biasa berjualan ditempat oleh seorang ibu-ibu yang menjual es potong. Abner mendekat.
"Kakek gulali di mana?" tanya Abner.
"Kakek meninggal kemarin sore," kata ibu itu sambil melayani anak-anak yang berebut es potong.
"Meninggal?" Abner mengulang.
"Iya," kata ibu itu.
Abner lunglai. Dia buru-buru masuk mobil ketika mamanya datang.
"Kok dibawa lagi topinya?" tanya mamanya.
Abner diam saja.
"Hai, Bos?" Mamanya menyetir sambil menyenggol lengan Abner. "Ada yang terjadi?"
"Kakek penjual gulali meninggal tadi sore," kata Abner lesu.
Mama menatapnya, menepikan mobil di bawah pohon, lalu mematikan mesin.
"Sudah.. Tak apa, kakek pasti tahu kalau kau sudah menabung untuk membelikannya topi.." kata mama sambil menepuk-nepuk bahu Abner.
"Iya," sahut Abner. 
Hari itu Abner belajar tentang sebuah kekecewaan dan kehilangan. Tapi ada satu rasa bangga yang selalu dibisikkan mamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar