Jumat, 10 Mei 2013

Peri Ember Kuning

Sabtu, 11 Maret 2013

Gambar diambil dari sini

Itong berjingkat-jingkat menuju kamarnya, setelah membuang-buang air dari ember kuning yang disiapkan ibunya. Ia membasahi dinding kamar mandi, biar disangka ibunya sudah mandi. Handuk pun ikut dibasahi dengan beberapa percik air. Sempurna. Kini saatnya berganti pakaian kemudian bermain bersama teman-temannya.

“Kum-kum, yuk kita pergi ke kebun salak mang Ecik yuk!”
 
“Mmmm... Tapi kan kebun salaknya jauh Tong, nanti siang baru kita sampai di sana, terus pulangnya gimana?”
 
“Dasar penakut! Liburan ini aku ingin berpetualang, ke tempat-tempat yang menyenangkan dan sekaligus jarang kita kunjungi.”
 
“Ajak si Dodit aja yuk sama Rego biar rame.”
 
Tak berapa lama, mereka berdua menyambangi rumah si kembar Dodit dan Rego. Untung saja si Kembar sedang tidak membantu ayah ibunya membereskan dagangan di pasar, jadi mereka bisa ikut serta untuk berpetualang dengan Kum-kum dan Itong. 

Jalan menuju ke kebun salak Mang Ecik adalah jalan setapak, beberapa kali mereka tergelincir karena lumut-lumut yang tumbuh subur. Itong berjalan dengan gagah di barisan paling depan, disusul Kum-kum kemudian si Kembar yang membawa tamborin. Di sepanjang jalan, di sisi kiri dan kanan, mereka melihat petani-petani salak yang sedang merawat pohon dan memanen buah salak. 
 
Kira-kira saat matahari sepenggalah tingginya, sampailah mereka ke kebun salak Mang Ecik. Matahari tidak begitu terik, Kum-kum kegirangan diajak anak buah Mang Ecik memetik buah salak, buah kegemarannya. Itong diam-diam pergi ke arah kebun yang sepi, yang telah dipanen. Sebenarnya dia merasa kelelahan, tapi malu mengakui di depan teman-temannya. 
 
Itong duduk sambil meluruskan kakinya di bawah sebuah pohon di pinggir kebun. Angin sepoi-sepoi meniup muka Itong yang sedang kelelahan, enak sekali rasanya. 

“Keresek ....krsssk!” Itong mendongak, sorot matanya menajam. 
 
Itong mengawasi kondisi sekelilingnya dengan waspada, kira-kira beberapa meter di hadapannya, rerimbunan daun salak bergoyang tidak biasa. Itong mengambil galah yang biasa digunakan untuk menguak semak-semak saat dia dan teman-temannya bermain di kebun belakang rumah. 
 
Sesosok mahkluk dengan perawakan buntal berwarna kuning, menyembul dari balik rimbunan daun salak, lalu dia sibuk membersihkan jubahnya yang menjuntai di depan Itong.
 
“Kamu...kamu siapa?” tanya Itong dengan sedikit takut.
 
Makhluk itu malah mendekat, hidungnya bergerak-gerak sambil terus memutar-mutar tongkatnya dengan jumawa. 
 
“Jangan takut ... aku peri ... AKULAAAH PERI PALING HEBAT DI NEGERI SEGALA PERI..”  
 
Itong mengernyitkan dahinya, sedangkan si Peri buntal itu terus berputar-putar sambil mengoceh kesana – kemari. Itong beringsut pelan, menggeser badannya, hendak melarikan diri.
 
“Eitsss ... tunggu dulu, enak saja kau mau melarikan diri setelah membuatku kesulitan menghadapi pertanyaan para pemeriksa peri.” 
 
Itong diam mematung, takut tongkat si peri akan mengenai kepalanya. Sakitnya mungkin tidak begitu berasa, tapi nanti... Jika tiba-tiba dia berubah menjadi seekor babi hutan atau landak karena terkena pengaruh tongkat peri buntal itu bagaimana... Itong begidik membayangkan apa yang ada di pikirannya.
 
“Heh ... kok malah melamun?”
 
Peri itu mendekati Itong pelan-pelan, perut dan pantatnya bergoyang ke kanan dan ke kiri sesuai dengan irama langkah kakinya. Si peri sudah berada teramat dekat dengan Itong, hanya berjarak sejengkal, tongkatnya masih berayun ke sembarang arah, membuat Itong semakin diam tak bergerak. Yang dia lakukan sekarang hanya diam, dan berusaha sekuat tenaga untuk menahan rasa takutnya. 
 
“TOLONGLAH AKUUU ... TOLONG, JELASKAN PADA PARA PEMERIKSA PERI ITU HUAAAA HIKS HIKSS” tiba-tiba si peri menjatuhkan diri di tanah dan menangis meraung-raung.
 
Itong terkaget-kaget, sejenak dia hanya memandangi si Peri yang terus berguling-guling dan merajuk di hadapannya. 
 
“Eh, kenapa kamu menangis?” Tak lama Itong meraih tangan si Peri dan memapahnya untuk duduk.
 
“Huuu huhu ... kamu harus menolongku huuuu..” si Peri mengusap air matanya yang terus mengalir.
 
“Tapi aku harus menolongmu untuk apa? Sedangkan kita baru bertemu sekali ini.” 
 
“Nanti akan kuceritakan, tapi kau berjanji padaku akan menolongku?” mata si Peri berkedip-kedip, mimik mukanya memelas.
 
Itong memang terkadang jahil, tapi dia paling tidak suka membuat orang lain menangis, akhirnya dia mengangguk.
 
“Aku janji!”
 
“Sekarang ... pegang ujung tongkatku, lalu pejamkan matamu!”
 
“Emmmm ...”
 
“Jangan takut, aku tidak akan mencelakaimu, aku janji sebelum petang, kita sudah kembali ke sini.”

Akhirnya Itong memegang ujung tongkat si Peri dan memejamkan matanya, beberapa saat badannya terasa berputar, terus berputar hingga kepalanya merasa sedikit pusing. 
 
“Kita sudah sampai,” bisik si Peri.
 
Itong terhuyung, lalu membuka matanya, pelbagai makhluk menyerupai si Peri meskipun tidak sebuntal Peri yang bersamanya,  dengan warna yang beraneka ragam, sedang duduk rapi di sebuah ruang pertemuan yang teramat besar. 

Ruang Pertemuan itu tiba-tiba berisik, saat mereka menyadari kehadiran Itong dan si Peri Buntal yang belum sempat Itong tanyakan siapa namanya. Itong mengamati sekeliling dengan ekor matanya. Di ujung ruangan duduk empat orang peri yang sepertinya sudah sangat tua, jenggotnya panjang dan memutih, alis matanya juga menjuntai hingga menyentuh pipi. 
 
Di langit-langit ruang, nampak berbagai buah segar bergelantungan dari dahan pohonnya masing-masing, dan selalu bergerak sehingga setiap peri bisa meraih buah-buah yang berbeda macam setiap waktu. 
Sikut si Peri menyenggol sikut Itong, membuat dia berhenti mengamati ruang pertemuan itu.
 
“Kamu membawa siapa Peri Ember Kuning?” Peri Tua di ujung ruangan berkata. 
 
“Hah ... peri ember kuning ...?”bisik Itong, nama yang sungguh aneh untuk seorang peri.

“Paduka Ketua Pemeriksa Tugas Peri, hamba membawa seorang saksi, namanya Itong, dia adalah salah satu anak yang selalu hamba sediakan air bersih untuk mandi dan beraktifitas setiap hari, tapi dia selalu membuang-buang air yang sudah saya sediakan di sumur keluarganya dan disiapkan oleh ibunya di sebuah ember.” 
Itong terperangah. Saat si Peri Ember Kuning itu bisa menceritakan dengan detail apa yang diperbuatnya dengan air-air di ember yang selalu dia buang dengan percuma, karena dia malas mandi.

“Kok kamu bisa tahu? Apa kamu selalu mengintip aku mandi?”

“Idiih... Ngapain juga aku mengintip kamu mandi, aku kan Peri.. Peri yang paling hebat di negeri ini, wajar kalau aku bisa tahu apa yang kamu perbuat."
“Peri yang paling hebat tapi cengeng,” seloroh Itong.
“Enak saja. Aku tidak ...”
“Took Took!! Jangan berisik!” Ketua Pemeriksa Peri mengetukkan palu beberapa kali, suasana menjadi hening.
“Kamu Itong?” Itong mengangguk
“Kenapa kamu membuang-buang air yang sudah disediakan Peri Ember Kuning di Sumur Keluargamu?”
“Eemm... anu paduka, maaf, saya tidak bermaksud apa-apa, saya hanya malas sekali mandi.”
“Oh, jadi kamu anak yang malas mandi? Pantas saja peri kuman senang sekali bermain-main di sekelilingmu.”
“Apa? Peri kuman?”
“Iya, mereka adalah peri penggembala kuman, kami disini mempunyai tugas masing-masing untuk menjaga air, udara, pohon, kuman, dan segala macam yang ada di kehidupan manusia, termasuk kamu.”
“Peri Kuman suka sekali bermain-main di dekatmu, karena kamu tidak pernah membersihkan badan ketika selesai bermain. Tidak apa kamu bermain di luar rumah seharian, atau di dalam rumah pun, asalkan setelah itu kamu membersihkan diri dengan mandi memakai sabun.”
Sesosok peri bersungut dua dan berbulu seperti ulat daun, tiba-tiba mendekat.
“Aku peri kuman, aku suka sekali bermain di dekatmu,” Itong begidik. Dia beringsut menjauh. Bentuk peri itu begitu aneh dan membuat geli. Pantas saja badannya sering terasa gatal.
Peri Ember Kuning terbahak, melihat Itong bolak-balik mengusap lengannya. 
“Kamu tahu, dia pun terkadang tidur di kamarmu, karena kamu jarang membersihkan kamar dan badanmu.”
“Jadi Paduka Ketua Pemeriksa, bukan salah hamba jika Ibunya Itong setiap kali bersedih melihat anaknya sakit dan terserang gatal-gatal, karena hamba sudah melaksanakan tugas untuk menyediakan air bersih bagi keluarganya.”
“Apa? Ibuku bersedih?”
“Iya, ibumu suka bersedih setiap kali kamu mengeluh tidak enak badan dan badanmu gatal-gatal, setiap kali Ibumu berdoa, dia selalu meminta kepada Tuhan agar kamu selalu sehat. Kasian dia Tong, dia selalu sedih ketika kamu sakit.”
Itong termenung, selama ini dia selalu tidak ingin membuat teman-teman atau siapapun orang di sekelilingnya menangis atau bersedih, tapi justru ibunya yang dia sayangi selalu menangis karena dia. Karena dia malas menjaga kebersihan badannya. 
“Itong? Kamu kenapa diam saja?”
“Aku sedih, aku merasa bersalah kepada ibuku.”
“Sudahlah, belum terlambat untuk memperbaiki semuanya, nanti sehabis dari sini, jangan lupa mandi, agar badanmu sehat dan segar,” si Peri Ember Kuning menepuk-nepuk bahu Itong menenangkan. 
“Terimakasih, Peri. Kalau tidak bertemu denganmu mungkin aku tidak pernah tahu bahwa ibuku amat sedih ketika aku sakit.”
“Sama-sama Itong, aku juga berterima kasih ya, kamu telah membantuku meyakinkan Paduka Ketua Pemeriksa Tugas Peri.”
“Perhatian! Jadi masalah ini selesai sampai di sini, Peri Ember Kuning diputuskan tidak bersalah, dan dipersilahkan untuk meneruskan tugasnya dengan sebaik-baiknya. TOK TOK TOK!!!”
Palu berdentam tiga kali, semua bersorak gemuruh, para peri warna warni itu menyalami si Peri Ember Kuning dan mengucapkan selamat. Sedang Itong berjanji, mulai sekarang dia akan rajin mandi dan menyiapkan keperluan mandinya sendiri. Ibu sudah terlalu banyak pekerjaan, tidak ada salahnya membantu meringankan beban pekerjaannya. 
“Itong, ayo kuantar kau pulang!”
“Eemmm, baiklah, tapi bolehkan aku memetik buah manggis itu satu saja?“

“Hahahaha! Kamu pasti dari tadi sudah kepingin melihat buah-buahan segar ini, petiklah sepuasmu, jangan lupa bawakan sebagian untuk teman-teman dan ibumu.”
“Terimakasih, Peri!” Itong bergegas meraih buah-buah manggis itu, menyimpannya baik-baik di saku celananya, menghitung apakah cukup untuk Kum-Kum, Rego, Dodit dan tentu saja Ibu.
Si Peri Ember Kuning dengan sabar menunggunya di tengah ruangan, sambil mengayun-ayunkan tongkatnya. Hari ini, dia tidak jadi kehilangan pekerjaannya sebagai penjaga air bersih, dan dia juga mendapatkan seorang teman baik, si Itong. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar