Jumat, 10 Mei 2013

Rabu, 01 Mei 2013



Hari Minggu pagi. Udara segar, sisa hujan semalam. Tapi matahari tampaknya akan bersinar cerah pagi ini.
Uno baru saja bangun tidur. Dia keluar kamar sambil mengucek-ucek mata. Rambutnya masih berantakan. Diambilnya gelas di dapur lalu menuju ruang makan untuk mengambil minum. Mimi baru saja selesai mandi. Bau wangi menyeruak keluar ketika pintu kamar mandi terbuka. Uno sudah rebahan di sofa, di depan TV.
“Rajin amat, pagi-pagi begini udah mandi,” kata Uno, masih sambil menguap.
“Jadi anak harus rajin. Biar sampai gede, tetap bisa rajin. Mandi pagi itu seger, Uno. Sana, buruan mandi,” sahut Mimi sambil terus berjalan menuju kamarnya.
Uno tetap tak beranjak dari sofa. Tangannya memain-mainkan remote.
Tiba-tiba Ayah melintas dari halaman belakang menuju halaman depan. Tangannya penuh membawa pot-pot dari tanah. Uno bangkit duduk sambil memandang Ayah dengan heran. Dia semakin bingung ketika dilihatnya Mimi berjalan mengekor Ayah di belakang. Penasaran, dia menyusul mereka berdua ke halaman depan.
“Ayah, Ayah, itu apa?” tanyanya sambil berlari menyusul Ayah.
“Ayah akan berkebun,” jawab Ayah sambil meletakkan pot-pot itu ke atas tanah.
“Mau menanam apa, Yah? Menanam bunga kesukaan Ibu?” tanya Uno lagi.
“Ayah akan menanam bumbu dapur,” jawab Ayah.
“Bumbu dapur?” Uno mengernyitkan keningnya.
“Sudah. Mendingan kamu bantuin aja, No. Ga usah banyak nanya. Nih, Mimi juga bantuin Ayah, main sambil belajar,” sahut Mimi.
Uno lantas ikut berjongkok di samping Mimi dan Ayah.
Tiba-tiba Mimi berseru kecil. “Uno bau! Belom mandi! Hiyyy….!”
Uno melongo. Ayah tertawa. “Mandi dulu, Uno. Kalau sudah mandi, baru bantuin Ayah,” kata Ayah.
“Iya, tapi tungguin! Uno jangan ditinggal!”
“Iya, ini Ayah sama Mimi mau cari tanah dulu,” jawab Ayah lagi.
Tanpa menjawab lebih lanjut, Uno berlari masuk rumah untuk mandi..
Tak lama kemudian, Uno sudah berlari kembali ke halaman depan. Kali ini dia sudah mandi, dan wangi. Rambutnya basah. Dia nampak segar.
Ayah dan Mimi sedang memasukkan tanah ke dalam pot. Semuanya ada empat buah pot dari tanah liat.
“Bumbu dapur apa sih, Yah, yang mau ditanam?” tanya Uno.
“Nih…” Ayah menunjukkan beberapa biji bumbu dapur yang ada di dalam wadah plastik di samping pot-pot kosong.
Uno mengamati satu persatu bumbu-bumbu itu.
“Ini cabe, aku tahu. Yang ini apa?” Uno menunjuk pada bumbu yang berwarna kekuningan.
“Itu kunyit,” jawab Ayah.
“Yang ini?”
“Itu jahe,” sahut Mimi.
“Terus yang ini?”
“Lengkuas,” jawab Mimi lagi.
“Hampir sama ya,” gumam Uno. Diamatinya semua bumbu itu satu persatu.
“Iya, kalau dilihat dengan seksama ya kelihatan bedanya,” kata Ayah masih tetap sibuk mengisi pot dengan tanah.
“Lalu gimana nanamnya, Yah?”
“Ini semua adalah akar, Uno. Kecuali cabe. Kita buka dulu cabenya ya, biar isinya keluar.”
Ayah lalu mengiris buah cabe itu pada sisinya, dan memasukannya ke dalam lubang yang ada di tengah pot. Tiba-tiba Ibu datang sambil membawa bungkusan plastik yang sangat besar.
“Tuh, coba lihat, Ibu bawa apa,” kata Ayah.
Mimi dan Uno mengerubungi Ibu untuk melihat apa isi bungkusan plastik itu.
“Ini pupuk organik, supaya tanaman tumbuh subur,” kata Ibu. “Jangan lupa ditambahkan, ya.”
“Woowww…” Mimi dan Uno berseru bareng.
Ayah menambahkan pupuk itu ke dalam masing-masing pot yang sudah berisi benih tanaman bumbu dapur. Lalu Ayah, Mimi dan Uno membawa pot-pot itu ke atas meja di samping garasi, supaya tetap terlindung dari hujan dan panas yang berlebihan.
“Sudah. Jangan lupa disiram tiap hari ya, tapi jangan sampai terlalu banyak air. Secukupnya saja,” kata Ayah.
“Wow, keren, Yah! Mi, mari kita giliran menyirami,” kata Uno semangat.
“Boleh!” ujar Mimi.
“Berapa lama lagi, kita bisa memetik hasilnya, Yah?” tanya Mimi.
“Kalau cabe, paling 2 bulan lagi sudah bisa dipetik. Kalau yang rimpang atau akar ini agak lama. Ya, kira-kira enam bulan lagi,” jawab Ayah sambil membereskan peralatan.
“Haaaaa?? Lama banget!” seru Mimi dan Uno berbarengan lagi.
Ayah tertawa. “Kalau ingin menuai hasil yang bagus, ya kita harus sabar. Rawatlah dengan baik, nanti dia akan berbuah baik juga.”
Mimi dan Uno manggut-manggut. Mereka pun sepakat untuk merawat bibit-bibit itu bergantian.
* * *
Seminggu kemudian.
“Mimi! Ayah!”
Uno berlari-lari masuk rumah dengan heboh.
“Ada apa?” Mimi melongok dari dalam kamar.
“Tanamannya mulai berdaun!”
Mimi pun lalu berlari mengikuti Uno keluar.
Ayah dan Ibu berpandangan sambil tertawa geli. (RedCarra)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar