Minggu, 05 Mei 2013

Kisah Pak Budi dan penghuni Kebun

Penulis: Indriati See | Editor: Hamzet

Pada suatu hari di zaman dimana sebagian dari lingkungan hidup kita telah rusak, hiduplah sepasang suami istri yang dikaruniai  empat orang anak yang sangat patuh dan hormat kepada orang tua mereka.

Putra pertama bernama Hasan, putri kedua bernama Tuti, putri ketiga bernama Tina dan putra bungsu bernama Sudin.

Pasangan suami istri itu sendiri bernama Pak Budi dan Ibu Indri yang sekarang sudah pensiun.
Keempat putra dan putri Pak Budi dan Ibu Indri, hidup diluar kota dan tiga diantaranya sudah berkeluarga. Adapun kesibukan dari Pak Budi dan Ibu adalah bekerja di kebun mereka yang cukup luas, menolong anak-anak miskin dan menulis buku cerita untuk anak-anak yang kemudian disumbangkan ke Perpustakaan Rakyat di Pusat Kota.

Walaupun kehidupan mereka berkecukupan tetapi mereka lebih suka hidup sederhana, Pak Budi pernah berkata: “Rezeki itu hanya titipan dari Tuhan, kita boleh mempergunakan secukupnya saja dan sisanya harus kita kembalikan kepadaNya dengan melalui zakat dan bantuan sosial kita kepada fakir miskin”.

Untuk mencukupi kebutuhan makanan mereka, Pak Budi dan Ibu Indri menanam sayur-sayuran, buah-buahan, memelihara ternak seperti ayam, bebek, kambing, burung dara dan juga mereka mempunyai kolam ikan yang selalu disemaraki oleh bebek-bebek dan katak-katak,  jika hujan turun menyirami bumi, mereka bernyanyi seperti membentuk konser alam menyambut anugerah dariNya.
“Selamat pagi sahabat-sahabatku” begitulah sambutan yang diberikan kepada sahabat-sahabat penghuni kebunnya.
“Selamat pagi Pak budi yang kami sayangi” jawab mereka hampir bersamaan.
“Apa saja yang telah kalian kerjakan pagi ini ?” tanya Pak Budi.
Si induk ayam menjawab: “Kok … kok … petok … petok … saya sudah menyiapkan dua butir telur untuk Bapak dan Ibu sarapan” dengan penuh rasa bangga.
“Si Kupu-kupu dan Si Kumbang yang selalu bekerja sama, serentak menjawab: “Kami sudah membantu bunga-bunga yang cantik ini, menyebarkan serbuk agar kebun bunga Bapak dan Ibu bertambah cantik”.

Si Burung Dara menjawab: “Kuuuur … petukuuur … saya belum melakukan apa-apa Pak, masih menunggu Tukang Pos datang dan membawakan surat untuk Bapak dan Ibu”.
Lalu si Kambing tidak mau kalah: “mbeeek … mbeeek … mbeeee … saya sedang menggemukan diri saya Pak agar pada Hari Kurban nanti, Bapak dan Ibu bisa membagi-bagikan tubuh saya kepada para fakir miskin”

Si Bebek juga tidak mau kalah dan berkata: “Kwek … kwek … kwek … saya sudah membersihkan lumut-lumut yang mengganggu kecantikan kolam ikan Bapak dan Ibu serta mengajarkan anak-anak saya berenang”.

Si ikanpun berbisik: “Bluuup … bluppp … bluupp … saya bertelur lagi dan akan menghasilkan banyak anak untuk kebutuhan vitamin B Bapak dan Ibu”.

Tiba-tiba, keluarlah si Cacing Tanah dan berbisik: “Pak Budi, saya telah membantu bapak menggemburkan tanah dan cepat bersembunyi lagi karena saya takut si Burung Dara melahapku”.
Hm … rupanya si Burung Dara mendengar percakapan si Cacing dengan Pak Budi dan langsung menyahut dari atas pohon Mangga: “hei Cacing Tanah, saya minta maaf deh, tadi pagi anak saya kelaparan dan saya tidak menemukan Ulat Bulu lagi di kebun ini jadi saya coba mengais di tempat tinggalmu dan memakan salah satu dari saudara-saudaramu”.


“Sudahlah, jangan kalian bertengkar !”
“Bukankah dalam hidup ini, kita saling tergantung satu sama yang lain ?” kata Pak Budi dengan suara lembut dan bijaksana.

Begitulah suasana sehari-hari di kebun milik Pak Budi dan Ibu Indri, mereka selalu hidup saling berdampingan dan harmonis.

Tak lama kemudian, ketentraman Pak Budi dan keluarga besarnya sedikit terusik ketika para kontraktor bangunan dari Pusat Kota berusaha untuk membeli tanah milik Pak Budi untuk dijadikan Pusat Perbelanjaan.

Dengan sabar Pak Budi menjelaskan kepada para kontraktor tersebut bahwa beliau ingin menjaga lingkungan asri dari kebunnya yang menjadi tempat gantungan hidup dari hewan-hewan sahabatnya, menjadi tempat penampung air tanah dan memberi pemandangan hijau dan keteduhan bagi mereka-mereka yang ingin berteduh atau beristirahat, dan tentunya membantu menghijaukan kota tempat tinggal mereka.

Keindahan kebun Pak Budi menjadi buah bibir yang sangat dibanggakan oleh warga kota yang akhirnya membawa pengaruh positif,  dan menggerakkan mata dan hati mereka untuk menanam kembali pohon-pohon, serta menolak tawaran yang menggiurkan dari para kontraktor bangunan, untuk tidak menjual rumah atau tanah mereka guna dijadikan Pusat Perkantoran, Hotel atau Pusat Perbelanjaan yang dapat memicu warga untuk hidup lebih konsumtif.

Menjelang masa-masa tidak bisa aktif lagi, dengan dibantu oleh keempat putra dan putri mereka, Pak Budi dan Ibu Indri merealisasikan mimpi mereka yaitu membuka Perpustakaan Rakyat dengan merubah sebagian dari rumah mereka.

Banyak anak-anak miskin yang menikmati sajian buku-buku yang disediakan disana, juga para Pemulung, dan Tuna Wisma yang tidak bisa membaca, mereka mendapat pelajaran gratis dari putra dan putri Pak Budi dan Ibu Indri.


*** SEKIAN ***
*Lestarikan selalu lingkungan hidup kita*
*Peduli akan kesusahan saudara-saudara kita*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar