Sabtu, 02 Maret 2013

kisah ramayana

Dikisahkan di sebuah negeri bernama Mantili ada seorang puteri nan cantik jelita bernama Dewi Shinta. Dia seorang puteri raja negeri Mantili yaitu Prabu Janaka. Suatu hari sang Prabu mengadakan sayembara untuk mendapatkan sang Pangeran bagi puteri tercintanya yaitu Shinta, dan akhirnya sayembara itu dimenangkan oleh Putera Mahkota Kerajaan Ayodya, yang bernama Raden Rama Wijaya. Namun dalam kisah ini ada juga seorang raja Alengkadiraja yaitu Prabu Rahwana, yang juga sedang kasmaran, namun bukan kepada Dewi Shinta tetapi dia ingin memperistri Dewi Widowati. Dari penglihatan Rahwana, Shinta dianggap sebagai titisan Dewi Widowati yang selama ini diimpikannya. Dalam sebuah perjalanan Rama dan Shinta dan disertai Lesmana adiknya, sedang melewati hutan belantara yang dinamakan hutan Dandaka, si raksasa Prabu Rahwana mengintai mereka bertiga, khususnya Shinta. Rahwana ingin menculik Shinta untuk dibawa ke istananya dan dijadikan istri, dengan siasatnya Rahwana mengubah seorang hambanya bernama Marica menjadi seekor kijang kencana. Dengan tujuan memancing Rama pergi memburu kijang ‘jadi-jadian' itu, karena Dewi Shinta menginginkannya. Dan memang benar setelah melihat keelokan kijang tersebut, Shinta meminta Rama untuk menangkapnya. Karena permintaan sang istri tercinta maka Rama berusaha mengejar kijang seorang diri sedang Shinta dan Lesmana menunggui. Dalam waktu sudah cukup lama ditinggal berburu, Shinta mulai mencemaskan Rama, maka meminta Lesmana untuk mencarinya. Sebelum meninggalkan Shinta seorang diri Lesmana tidak lupa membuat perlindungan guna menjaga keselamatan Shinta yaitu dengan membuat lingkaran magis. Dengan lingkaran ini Shinta tidak boleh mengeluarkan sedikitpun anggota badannya agar tetap terjamin keselamatannya, jadi Shinta hanya boleh bergerak-gerak sebatas lingkaran tersebut. Setelah kepergian Lesmana, Rahwana mulai beraksi untuk menculik, namun usahanya gagal karena ada lingkaran magis tersebut. Rahwana mulai cari siasat lagi, caranya ia menyamar yaitu dengan mengubah diri menjadi seorang brahmana tua dan bertujuan mengambil hati Shinta untuk memberi sedekah. Ternyata siasatnya berhasil membuat Shinta mengulurkan tangannya untuk memberi sedekah, secara tidak sadar Shinta telah melanggar ketentuan lingkaran magis yaitu tidak diijinkan mengeluarkan anggota tubuh sedikitpun! Saat itu juga Rahwana tanpa ingin kehilangan kesempatan ia menangkap tangan dan menarik Shinta keluar dari lingkaran. Selanjutnya oleh Rahwana, Shinta dibawa pulang ke istananya di Alengka. Saat dalam perjalanan pulang itu terjadi pertempuran dengan seekor burung Garuda yang bernama Jatayu yang hendak menolong Dewi Shinta. Jatayu dapat mengenali Shinta sebagai puteri dari Janaka yang merupakan teman baiknya, namun dalam pertempuan itu Jatayu dapat dikalahkan Rahwana. Disaat yang sama Rama terus memburu kijang kencana dan akhirnya Rama berhasil memanahnya, namun kijang itu berubah kembali menjadi raksasa. Dalam wujud sebenarnya Marica mengadakan perlawanan pada Rama sehingga terjadilah pertempuran antar keduanya, dan pada akhirnya Rama berhasil memanah si raksasa. Pada saat yang bersamaan Lesmana berhasil menemukan Rama dan mereka berdua kembali ke tempat semula dimana Shinta ditinggal sendirian, namun sesampainya Shinta tidak ditemukan. Selanjutnya mereka berdua berusaha mencarinya dan bertemu Jatayu yang luka parah, Rama mencurigai Jatayu yang menculik dan dengan penuh emosi ia hendak membunuhnya tapi berhasil dicegah oleh Lesmana. Dari keterangan Jatayu mereka mengetahui bahwa yang menculik Shinta adalah Rahwana! Setelah menceritakan semuanya akhirnya si burung garuda ini meninggal. Mereka berdua memutuskan untuk melakukan perjalanan ke istana Rahwana dan ditengah jalan mereka bertemu dengan seekor kera putih bernama Hanuman yang sedang mencari para satria guna mengalahkan Subali. Subali adalah kakak dari Sugriwa paman dari Hanuman, Sang kakak merebut kekasih adiknya yaitu Dewi Tara. Singkat cerita Rama bersedia membantu mengalahkan Subali, dan akhirnya usaha itu berhasil dengan kembalinya Dewi Tara menjadi istri Sugriwa. Pada kesempatan itu pula Rama menceritakan perjalanannya akan dilanjutkan bersama Lesmana untuk mencari Dewi Shinta sang istri yang diculik Rahwana di istana Alengka. Karena merasa berutang budi pada Rama maka Sugriwa menawarkan bantuannya dalam menemukan kembali Shinta, yaitu dimulai dengan mengutus Hanuman persi ke istana Alengka mencari tahu Rahwana menyembunyikan Shinta dan mengetahui kekuatan pasukan Rahwana. Taman Argasoka adalah taman kerajaan Alengka tempat dimana Shinta menghabiskan hari-hari penantiannya dijemput kembali oleh sang suami. Dalam Argasoka Shinta ditemani oleh Trijata kemenakan Rahwana, selain itu juga berusaha membujuk Shinta untuk bersedia menjadi istri Rahwana. Karena sudah beberapa kali Rahwana meminta dan ‘memaksa' Shinta menjadi istrinya tetapi ditolak, sampai-sampai Rahwana habis kesabarannya yaitu ingin membunuh Shinta namun dapat dicegah oleh Trijata. Di dalam kesedihan Shinta di taman Argasoka ia mendengar sebuah lantunan lagu oleh seekor kera putih yaitu Hanuman yang sedang mengintainya. Setelah kehadirannya diketahui Shinta, segera Hanuman menghadap untuk menyampaikan maksud kehadirannya sebagai utusan Rama. Setelah selesai menyampaikan maskudnya Hanuman segera ingin mengetahui kekuatan kerajaan Alengka. Caranya dengan membuat keonaran yaitu merusak keindahan taman, dan akhirnya Hanuman tertangkap oleh Indrajid putera Rahwana dan kemudian dibawa ke Rahwana. Karena marahnya Hanuman akan dibunuh tetapi dicegah oleh Kumbakarna adiknya, karena dianggap menentang, maka Kumbakarna diusir dari kerjaan Alengka. Tapi akhirnya Hanuman tetap dijatuhi hukuman yaitu dengan dibakar hidup-hidup, tetapi bukannya mati tetapi Hanuman membakar kerajaan Alengka dan berhasil meloloskan diri. Sekembalinya dari Alengka, Hanuman menceritakan semua kejadian dan kondisi Alengka kepada Rama. Setelah adanya laporan itu, maka Rama memutuskan untuk berangkat menyerang kerajaan Alengka dan diikuti pula pasukan kera pimpinan Hanuman. Setibanya di istana Rahwana terjadi peperangan, dimana awalnya pihak Alengka dipimpin oleh Indrajid. Dalam pertempuran ini Indrajid dapat dikalahkan dengan gugurnya Indrajit. Alengka terdesak oleh bala tentara Rama, maka Kumbakarna raksasa yang bijaksana diminta oleh Rahwana menjadi senopati perang. Kumbakarna menyanggupi tetapi bukannya untuk membela kakaknya yang angkara murka, namun demi untuk membela bangsa dan negara Alengkadiraja.Dalam pertempuran ini pula Kumbakarna dapat dikalahkan dan gugur sebagai pahlawan bangsanya. Dengan gugurnya sang adik, akhirnya Rahwana menghadapi sendiri Rama. Pad akhir pertempuran ini Rahwana juga dapat dikalahkan seluruh pasukan pimpinan Rama. Rahmana mati kena panah pusaka Rama dan dihimpit gunung Sumawana yang dibawa Hanuman. Setelah semua pertempuran yang dasyat itu dengan kekalahan dipihak Alengka maka Rama dengan bebas dapat memasuki istana dan mencari sang istri tercinta. Dengan diantar oleh Hanuman menuju ke taman Argasoka menemui Shinta, akan tetapi Rama menolak karena menganggap Shinta telah ternoda selama Shinta berada di kerajaan Alengka. Maka Rama meminta bukti kesuciannya, yaitu dengan melakukan bakar diri. Karena kebenaran kesucian Shinta dan pertolongan Dewa Api, Shinta selamat dari api. Dengan demikian terbuktilah bahwa Shinta masih suci dan akhirnya Rama menerima kembali Shinta dengan perasaan haru dan bahagia. Dan akhir dari kisah ini mereka kembali ke istananya masing-masing.

timun mas

"Timun Emas" Di suatu desa hiduplah seorang janda tua yang bernama mbok Sarni. Tiap hari dia menghabiskan waktunya sendirian, karena mbok Sarni tidak memiliki seorang anak. Sebenarnya dia ingin sekali mempunyai anak, agar bisa membantunya bekerja. Pada suatu sore pergilah mbok Sarni ke hutan untuk mencari kayu, dan ditengah jalan mbok Sarni bertemu dengan raksasa yang sangat besar sekali. “Hei, mau kemana kamu?”, tanya si Raksasa. “Aku hanya mau mengumpulkan kayu bakar, jadi ijinkanlah aku lewat”, jawab mbok Sarni. “Hahahaha.... kamu boleh lewat setelah kamu memberiku seorang anak manusia untuk aku santap”, kata si Raksasa. Lalu mbok Sarni menjawab, “Tetapi aku tidak mempunyai anak”. Setelah mbok Sarni mengatakan bahwa dia tidak punya anak dan ingin sekali punya anak, maka si Raksasa memberinya biji mentimun. Raksasa itu berkata, “Wahai wanita tua, ini aku berikan kamu biji mentimun. Tanamlah biji ini di halaman rumahmu, dan setelah dua minggu kamu akan mendapatkan seorang anak. Tetapi ingat, serahkan anak itu padaku setelah usianya enam tahun”. Setelah dua minggu, mentimun itu nampak berbuah sangat lebat dan ada salah satu mentimun yang cukup besar. Mbok Sarni kemudian mengambilnya , dan setelah dibelah ternyata isinya adalah seorang bayi yang sangat cantik jelita. Bayi itu kemudian diberi nama timun emas. Semakin hari timun emas semakin tumbuh besar, dan mbok Sarni sangat gembira sekali karena rumahnya tidak sepi lagi. Semua pekerjaannya bisa selesai dengan cepat karena bantuan timun emas. Akhirnya pada suatu hari datanglah si Raksasa untuk menagih janji. Mbok Sarni sangat ketakutan, dan tidak mau kehilangan timun emas. Kemudian mbok Sarni berkata, “Wahai raksasa, datanglah kesini dua tahun lagi. Semakin dewasa anak ini, maka semakin enak untuk di santap”. Si Raksasa pun setuju dan meninggalkan rumah mbok Sarni. Waktu dua tahun bukanlah waktu yang lama, karena itu tiap hari mbok Sarni mencari akal bagaimana caranya supaya anaknya tidak dibawa si Raksasa. Hati mbok Sarni sangat cemas sekali, dan akhirnya pada suatu malam mbok Sarni bermimpi. Dalam mimpinya itu, ia diberitahu agar timun emas menemui petapa di Gunung. Pagi harinya mbok Sarni menyuruh timun emas untuk segera menemui petapa itu. Setelah bertemu dengan petapa, timun emas kemudian bercerita tentang maksud kedatangannya. Sang petapa kemudian memberinya empat buah bungkusan kecil yang isinya biji mentimun, jarum, garam, dan terasi. “Lemparkan satu per satu bungkusan ini, kalau kamu dikejar oleh raksasa itu”, perintah petapa. Kemudian timun meas pulang ke rumah, dan langsung menyimpan bungkusan dari sang petapa. Paginya raksasa datang lagi untuk menagih janji. “Wahai wanita tua, mana anak itu? Aku sudah tidak tahan untuk menyantapnya”, teriak si Raksasa. Kemudian mbok Sarni menjawab, “Janganlah kau ambil anakku ini wahai raksasa, karena aku sangat sayang padanya. Lebih baik aku saja yang kamu santap”. Raksasa tidak mau menerima tawaran dari mbok Sarni itu, dan akhirnya marah besar. “Mana anak itu? Mana timun emas?”, teriak si raksasa. Karena tidak tega melihat mbok Sarni menangis terus, maka timun emas keluar dari tempat sembunyinya. “Aku di sini raksasa, tangkaplah aku jika kau bisa!!!”, teriak timun emas. Raksasapun mengejarnya, dan timun emas mulai melemparkan kantong yang berisi mentimun. Sungguh ajaib, hutan menjadi ladang mentimun yang lebat buahnya. Raksasapun menjadi terhambat, karena batang timun tersebut terus melilit tubuhnya. Tetapi akhirnya si raksasa berhasil bebas juga, dan mulai mngejar timun emas lagi. Lalu timun emas menaburkan kantong kedua yang berisi jarum, dalam sekejap tumbuhlan pohon-pohon bambu yang sangat tinggi dan tajam. Dengan kaki yang berdarah-darah karena tertancap bambu tersebut si raksasa terus mengejar. Kemudian timun emas membuka bingkisan ketiga yang berisi garam. Seketika itu hutanpun menjadi lautan luas. Tetapi lautan itu dengan mudah dilalui si raksasa. Yang terakhir Timun Emas akhirnya menaburkan terasi, seketika itu terbentuklah lautan lumpur yang mendidih, dan si raksasa tercebur di dalamnya. Akhirnya raksasapun mati. Timun Emas mengucap syukur kepada Tuhan YME, karena sudah diselamatkan dari raksasa yang kejam. Akhirnya Timun Emas dan Mbok Sarni hidup bahagia dan damai

jaka tartub

dahulu kala, di Desa Tarub, tinggal­lah seorang janda bernama Mbok Randa Tarub. Sejak suaminya me­­ninggal dunia, ia mengangkat seorang bo­­­cah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewa­sa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub. Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya sendiri. Dahulu kala, di Desa Tarub, tinggal­lah seorang janda bernama Mbok Randa Tarub. Sejak suaminya me­­ninggal dunia, ia mengangkat seorang bo­­­cah laki-laki sebagai anaknya. Setelah dewa­sa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub. Jaka Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya sendiri. Waktu terus berlalu. Jaka Tarub ber­anjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang men­dambakan untuk menjadi istrinya. Na­mun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang di­anggap­nya sebagai ibunya sendiri. Ia be­ker­ja se­makin tekun, sehingga hasil sawah ladang­nya melimpah. Mbok Randha yang pe­­murah akan membaginya dengan te­tang­ga­nya yang kekurangan. “Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah de­wasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah me­nikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari. “Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub. “Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi. “Sudahlah, Mbok. Semoga saja Sim­bok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat. “Hari sudah siang, tetapi Simbok be­lum bangun. Kadingaren ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya. “Iya, Le,” jawab Mbok Randha lema “Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simbok­nya. Namun rupanya umur Mbok Randha ha­nya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas ter­akhirnya. Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladang­nya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Un­­tuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub. Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi me­makan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi ber­se­­lera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil mem­bawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur. Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar de­rai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gu­mamnya. Pandangannya ditujukan ke te­la­­­ga. Di telaga tampak tujuh perempuan can­­tik tengah bermain-main air, bercanda, ber­­suka ria. Jaka Tarub menganga melihat ke­­cantikan mereka. Tak jauh dari telaga, ter­geletak selendang mereka. Tanpa pikir panjang, diambilnya satu selendang, ke­mu­di­­an disembunyikannya. “Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari su­dah sore. Kita harus segera kembali ke kah­yangan,” kata Bidadari tertua. Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kem­bali mengenakan selendang masing-masing. Na­­­mun salah satu bidadari itu tak mene­­mu­kan selendangnya. “Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya. Keenam kakaknya turut membantu men­­cari, namun hingga senja tak ditemu­kan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bi­sa menunggumu lama-lama. Mungkin su­­dah nasibmu tinggal di mayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami kembali ke kah­ya­ngan,” tambahnya. Nawang Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah. Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawangsih, anak mereka. Pada suatu hari, Nawang wulan ber­pesan kepada Jaka Tarub, “Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke kali. Tapi jangan dibuka tutup kukusan itu,” pinta Nawang Wu­lan. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub pe­­na­saran dengan larangan istrinya. Ma­ka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di dalam kukusan. “Pan­tas padi di lumbung tak pernah habis. Rupa­nya istriku dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumam­nya. Saat Nawang Wulan pulang, ia mem­buka tutup kukusan. Setangkai padi ma­sih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Sejak saat itu, Na­wang Wulan harus menumbuk dan me­nam­pi beras untuk dimasak, seperti wa­ni­ta umumnya. Karena tumpukan pa­di­­nya terus berkurang, suatu waktu, Na­­wang Wulan menemukan selendang bi­da­­­da­ri­nya terselip di antara tumpukan pa­di. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang me­­nyem­bu­nyi­kan selendang itu. Dengan se­ge­ra dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya. “Kakang, aku harus kembali ke kah­yangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan da­ngau di sekitar rumah. Setiap malam letak­­kan Nawangsih di sana. Aku akan datang me­nyusuinya. Namun Kakang ja­nganlah mendekat,” kata Nawang Wulan, kemu­di­an terbang ke menuju kahyangan. Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya ber­­­­main-main dengan ibunya. Setelah Na­wang­sih tertidur, Nawang Wulan kem­bali ke kah­ya­ngan. Demikian hal itu ter­jadi berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun de­mikian, Jaka Tarub dan Nawangsih me­­­­­­rasa Na­wang Wulan selalu menjaga me­reka. Di saat ke­duanya mengalami ke­sulit­­an, ban­­tu­­an akan datang tiba-tiba. Ko­non itu ada­lah bantuan dari Nawang Wulan. Mbok, simbok : Bu, ibu. Kadingaren : tumben. Le, thole : panggilan untuk anak lelaki di Jawa. Diambah : dijamah, diinjak. Nimas : adik; panggilan untuk adik perempuan. Kakangmbok : kakak; panggilan untuk kakak perem­puan. Mayapada : bumi. Kakang : kakak; panggilan untuk kakak laki-laki/ untuk suami. Kali : sungai. Kukusan : alat pengukus berbentuk kerucut, ter­­buat dari bambu yang dianyam.