Minggu, 12 Mei 2013

Dongeng Anak


Anjing dan Bayangannya
Seekor anjing berlari-lari pulang ke rumah karena telah mendapatkan tulang dari seseorang. Ketika dia melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, dia menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini mengira dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya.
Bila saja dia berhenti untuk berpikir, dia akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut akhirnya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat dia selamat tiba di tepi sungai, dia hanya bisa berdiri termenung dan sedih karena tulang yang di bawanya malah hilang, dia kemudian menyesali apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.


Kancil dan Tikus

Di sebuah hutan, hiduplah dua ekor kancil. Mereka bernama Kanca dan Manggut. Kedua ekor kancil itu bersaudara. Manggut adalah kakak dari Kanca. Sebaliknya, Kanca adalah adik dari Manggut. Walaupun mereka bersaudara, tetapi sifat mereka sangatlah berbeda. Kanca rajin dan baik hati. Sedangkan Manggut pemalas dan suka menjahili teman.
Suatu hari Manggut kelaparan. Tetapi Manggut malas mencari makan. Akhirnya Manggut
mencuri makanan Kanca. Waktu Kanca menanyai kepada Manggut di mana makanannya,
Manggut menjawab dicuri tikus.
“Ah, mana mungkin dimakan tikus!” kata Kanca. “Iya, kok! Masa sama kakaknya tidak percaya!” jawab Manggut berbohong. Mulanya Kanca tidak percaya dengan omongan Manggut. Tetapi setelah Manggut mengatakannya berkali-kali akhirnya Kanca percaya juga. Kanca memanggil tikus ke rumahnya.
“Tikus, apakah kamu mencuri makananku?” tanya Kanca pada tikus. “Ha? Mencuri? Berpikir saja aku belum pernah!” jawab tikus. “Ah, si tikus! Kamu ini membela diri saja! Sudah, Kanca! Dia pasti berbohong,” kata Manggut
.”Ya, sudahlah! Tikus, sebagai gantinya ambilkan makanan di seberang sungai sana. Tadi aku juga mengambil makanan dari sana, kok!” kata Kanca mengakhiri percakapan.
Tikus berjalan ke tepi sungai. Ia menaiki perahu kecil untuk menuju seberang sungai.
Sebenarnya tikus tahu kalau Manggut yang mencuri makanan. Sementara itu, di bagian
sungai yang lain, Manggut cepat-cepat menyeberangi sungai. Ia hendak memasang
perangkap tikus agar tikus terperangkap.
Ketika tikus hampir mendekati seberang sungai, tikus melihat perangkap. Tikus yakin kalau perangkap itu dipasang oleh Manggut. Tiba-tiba tikus mendapat ide. Tikus berpura-pura tenggelam dalam sungai.
“Aaa… Manggut, tolong aku…!” teriak tikus. Mendengar itu Manggut segera menolong tikus. Tikus meminta Manggut mengantarkannya ke seberang sungai. Manggut tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengantarkan tikus ke seberang sungai. Sesampai di seberang sungai tikus meminta Manggut menemani tikus mengambil makanan. Karena Manggut tidak hati-hati, kakinya terperangkap dalam perangkap tikus. Manggut menyesali perbuatan buruknya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.

Sabtu, 11 Mei 2013

Kuncung dan Sayur Bbayam

Sabtu, 11 Maret 2013


Si Kuncung sepagian ini ngomel. Yang sampahnya bau lah, yang si Menul tidak kunjung keluar dari kamar mandi lah. Yang airnya habis lah... Pokoknya semua diomeli.
“Kamu kenapa to, Cung?” tanya Simbok.
“Ndak papa!”
“Lha nek ndak papa kok mukanya mrengut terus!”
Bapak yang lagi masuk rumah juga menegur, “Ndak baek pagi-pagi uring-uringan itu, Cung.”
“Ah embuhlah!”
Kuncung menuju meja makan. “Mbok, makan, mbok.”
Tak berapa lama, Simbok keluar dari dapur sambil membawa cething nasi dari bambu dan setumpuk piring kaleng.
“Iya bentar. Ini lagi disiapkan.”
Simbok berjalan ke dapur, lalu kembali lagi dengan sepanci sayur dan sepiring tempe goreng garit kesukaan Bapak.
Kuncung segera mengambil nasi banyak-banyak, tak lupa dicomotnya tempe goreng. Suapan pertama sukses bikin Kuncung marah-marah lagi.
“Mbok…! Sayurnya ndak ada rasanya! Kurang asin!”
“Ya kamu tambahin garem aja to, Cung,” sahut Simbok dari dapur.
“Ndak mau!”
Saking kesalnya Kuncung lari keluar rumah dan main bersama si Jabung, ayam jagonya.
Simbok hanya geleng-geleng kepala di dapur. 'Masak gitu aja kok ya ndak mau,' pikir Simbok. Diambilnya wadah garam, ditambahkannya sejumput garam ke dalam sayur bayam. Lalu Simbok kembali ke dapur.
Bapak keluar dari kamar. Didengarnya tadi Kuncung yang marah-marah karena sayur yang kurang asin. Bapak mendekat ke meja, dilihatnya wadah garam ada di samping piring makan Kuncung yang ditinggal.
“Apa ya mau si Kuncung nambah garam sendiri. Simbok ki kepiye…?” gumam Bapak.
Lalu diambilnya seujung sendok teh garam, dan dimasukkan ke dalam sayur bayam, dan dikembalikannya garam ke dapur. Simbok sudah keluar untuk menjemur pakaian.
Kuncung yang sudah capek bermain sama Jabung, kembali masuk ke rumah. Dilihatnya piring yang berisi nasi yang tadi belum dihabiskannya. Celingukan dia mencari Simbok. Ndak ada.
“Ugh! Simbok ini gimana sih?” sungut Kuncung.
Dia lantas ngeloyor ke dapur, diambilnya wadah garam lalu ditaburkannya sedikit ke dalam sayur bayam.
Sekarang Kuncung sudah siap menyantap makanannya. Tapi …
“Woaaahhhh… oasssssssssssiiiinnn!!!” teriaknya.

Bapak dan Ibu masuk dan melihat Kuncung yang kiyer-kiyer matanya karena keasinan. Ibu mencicipi sayur di piring Kuncung.

"Duh iya, asin banget. Padahal aku cuma nambahin sedikit," kata Ibu.
"Lho, Ibu nambahin garam di piringku?" tanya Kuncung.
"Iya, lha kamu marah-marah katanya sayurnya kurang asin..."
"Ng... Bapak tadi juga nambahin sedikit, Bapak kira Ibu ndak sempat, dan kamu ngambek..." kata Bapak.

Kuncung terdiam. Dia merasa bersalah karena terus-terusan marah-marah, hasilnya malah dia sendiri yang terkena batunya.

"Maafkan Kuncung ya Bu, sudah marah-marah, padahal Ibu sudah capek-capek nyiapin makan.."
"Ya sudah, ambil lagi aja. Besok-besok ndak usah marah-marah yang ndak perlu..."

Kisah Si Pink

Sabtu, 11 Maret 2013


Aku adalah sebuah baju hangat yang cantik. Warnaku merah jambu, atau pink, kalau mereka bilang. Ada bordir lukisan bunga-bunga di ujung, dan tulisan "Pretty Princess" di bagian dada sebelah kiri. Kainku tebal karena aku memang dibuat untuk dipakai ketika cuaca atau hawanya dingin, agar majikanku merasa hangat. Aku sudah satu bulan menghiasi etalase sebuah toko yang khusus menjual baju anak-anak. Pemilik toko memakaikanku pada boneka pajangannya, bersama dengan si Blus biru muda dan si Rok Mini yang juga berwarna biru muda.
Suatu hari, sepasang kakek dan nenek membeliku. Lalu aku dimasukkannya ke dalam kotak dan dibungkus dengan kertas kado warna warni. Tak lupa juga diberi pita. Bersamaku ada sebuah kertas yang bertuliskan "Selamat Ulang Tahun ke-5 Andrea. Semoga tambah pinter, tambah rajin dan menurut yah sama Mama Papa."
Tak berapa lama, ada tangan-tangan mungil merobek kertas kado dan kardus pembungkusku. Ternyata seorang gadis kecil berparas manis. Pastilah dia Andrea, majikan baruku. Matanya berbinar saat melihatku.
"Bagus banget. Makasih, Kakek! Makasih, Nenek!" kata Andrea seraya menghambur dan memeluk Kakek dan Neneknya.
Aku melihat banyak kado di sekeliling kamarnya ini. Tapi tampaknya akulah yang paling dia sukai. Berkali-kali dia memeluk dan menciumiku. Berkali-kali juga dia mencobaku. Sedikit kebesaran sepertinya, tapi kurasa 5 atau 6 bulan lagi, pasti aku sudah pas di badannya.
Keesokan paginya, Andrea mengajakku jalan-jalan. Waaaahhh... ternyata di sini hawanya memang dingiiiiin sekali, dan kulihat Andrea memang punya beberapa baju hangat yang lain. Tapi mereka agak lebih kecil daripadaku, dan sepertinya akulah yang paling cantik di antara mereka. Hahahahaha... bukannya mau sombong sih, tapi bordir yang menghiasi badanku paling cerah dan halus di antara mereka.
Setelah berjalan menyusuri kebuh teh, Andrea tiba di sebuah gubuk kecil. Dinding rumahnya terbuat dari kayu dan anyaman bambu, sehingga angin yang dingin gampang sekali masuk.
"Permisiiii... Reni ada, Bu?" tanya Andrea kepada seorang ibu setengah baya yang sedang memilihi daun-daun sawi di dapur.
Gubuk ini kecil sekali, sehingga kalau kau masuk pun, kau akan langsung bisa melihat dapur.
"Ada, tapi sedang sakit. Masuk saja, Andrea. Itu dia sedang tiduran di kamar." sahut ibu itu.
Andrea segera masuk ke kamar. Ada seorang gadis manis lain yang sedang berbaring di atas bale-bale dan dia meringkuk di balik selimut tipis. Mukanya pucat, dan nafasnya terdengar sangat berat.
"Reni, kamu kenapa?" Ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan Andrea. Aku maklum. Pasti Andrea merasa kasihan akan keadaan Reni.
"Aku kedinginan, Andrea. Setiap kali kena angin dingin, nafasku sesak. Aku hampir tak bisa bernafas. Maaf ya, kemaren aku enggak bisa datang ke ultahmu."
Andrea tersenyum. "Ga papa, Reni..." lalu mereka mengobrol dengan akrab.
Tak lama, Andrea pamit karena takut mengganggu istirahat Reni. Di perjalanan, Andrea terlihat sedih sekali padahal ketika berangkat tadi dia begitu ceria.
Sesampainya di rumah, dilepaskannya aku. Lalu aku dilipat dengan rapi dan dipeluk lamaaaaa... sekali, sambil sesekali dicuaminya.Lalu diambilnya kertas kado, dan aku pun dibungkusnya dengan rapi. Ahhh... aku tahu apa yang akan dilakukan Andrea. Dia pasti ingin menolong Reni dengan menghadiahkan aku padanya. Karena tubuh Reni lebih besar dan tinggi daripada Andrea, sehingga tidak akan muat di baju-baju hangat Andrea yang lain.
Tak berapa lama ada tangan-tangan mungil lain membuka kertas pembungkusku. Betul dugaanku. Reni! Seperti juga ketika Andrea pertama kali melihatku, mata Reni juga berbinar ceria setengah tak percaya.
"Andrea! Ini kan baju hangat cantik yang tadi kamu pakai..."
"Iya. Kamu lebih membutuhkannya daripada aku. Baju hangatku yang lain sih banyak, tapi pasti ga akan muat untukmu. Jadi yang ini untukmu saja..." jawab Andrea sambil tersenyum.
"Terima kasih, Andrea. Kamu sungguh teman yang baik," kata Reni sambil memeluk Andrea erat-erat.
Andrea tersenyum lebar. Matanya juga berbinar. Malah lebih berbinar ketimbang ketika pertama kali memilikiku.
Ah, aku tau. Dia merasakan bahwa berbagi itu jauh lebih membahagiakan daripada memiliki.

Zee Kupu-kupu Pemalu

Sabtu, 11 Maret 2013



Ze adalah seekor kupu-kupu yang cantik. Badannya berwarna coklat terang, antenanya tinggi dan ramping, matanya cemerlang, dan dia mempunyai sepasang sayap berwarna pelangi.
Betul, kalau dilihat-lihat Ze memang kupu-kupu tercantik di taman bunga itu. Tapi sayang… Ze terlalu pemalu. Sepanjang hari dia hanya tinggal di dalam rumah saja. Sesekali keluar adalah ketika dia sedang mengumpulkan madu. Setelah madunya cukup untuk sehari, dia hanya akan tinggal di rumah bunganya.
Padahal tahukah kamu? Ze pandai sekali menyanyi. Suaranya lantang dan merdu. Dia tahu semua lagu yang pernah ada, dan bahkan sesekali dia menciptakan lagu sendiri. Tapi dia hanya mau menyanyi kala berada di dalam rumahnya yang terkunci rapat. Jadi tak ada seekor kupu-kupu pun yang tahu bahwa dia pandai menyanyi.
Suatu hari, akan ada perayaan Musim Bunga di taman bunga dimana Ze tinggal. Beberapa ekor kupu-kupu tampak mendaftar untuk ikut pertunjukan. Mereka diuji vokal oleh seekor kupu-kupu muda bersayap ungu. Dia adalah Reth, si kupu-kupu penyanyi. Kabarnya, mereka mencari teman pasangan duet untuk Reth dalam sebuah drama musikal.
Dan Ze…? Dia hanya berani menonton dari kejauhan. Dia ingin sekali ikut ujian vokal itu, tapi dia malu, jangan-jangan nanti mereka akan mentertawakannya. Tapi pasti akan menyenangkan kan, kalau seandainya bisa ikut tampil? Ahhhh… Ze tertunduk.
Akhirnya dia melangkah mendekati seekor kupu-kupu bersayap hijau dan perak. Dia sedang menggambar sesuatu.
“Hai, Ze. Mau bantu aku?” sapanya.
“Apa yang bisa kubantu, Urs?”
“Aku sedang membuat panggung untuk pertunjukan. Bisakah kamu membuat gambarnya?”
“Bisa, Urs,” sahut Ze sambil tersenyum.
Maka Ze membantu Urs untuk membangun panggung pertunjukan perayaan Musim Bunga.
Setiap hari Ze membantu Urs membangun panggung pertunjukan dan membuatnya secantik  mungkin. Sambil bekerja, Ze sering mendengarkan para pemain drama berlatih menyanyi. Dia pun ikut menyanyi, walaupun hanya di dalam hati. Dan setiap kali dia tiba di rumah, Ze selalu menyanyikan apa saja yang tadi dilatihkan dalam latihan pertunjukan drama itu. Ze hafal semua lagu yang akan dinyanyikan, dan dia menyanyikannya dengan baik.
Tibalah saat perayaan Musim Bunga.
Semua kupu-kupu gembira. Mereka memadati tempat dimana akan diadakan pertunjukan drama musikal itu. Mereka mengagumi panggung yang dibangun oleh Urs dan Ze. Panggung itu tampak kuat dan kokoh dengan hiasan lampu warna warni di sana sini, dan ada lampion-lampion di sepanjang atap panggung. Cantik sekali.
Ze sedang berada di balik panggung. Dia sedang merapikan semua peralatan dan properti panggung.
Tiba-tiba ada seekor kupu-kupu yang menjerit dengan suara keras. Ze kaget setengah mati. Buru-buru dia mendatangi arah datangnya suara. Ternyata Tha, si penyanyi pendamping Reth.
“Ada apa, Tha?” tanya Ze hati-hati
“Aku … aku gugup sekali. Aku tak tahu musti menyanyi apa. Lagu yang sudah kuhafal tiba-tiba saja lupa semuanya!” Tha tampak begitu gusar.
“Tenanglah, Tha. Mari kubantu mengingat. Aku hafal semua lagu yang harus kaunyanyikan.”
Ze pun mulai menyanyi. Suaranya lantang dan merdu. Jernih sekali, hingga semua kupu-kupu terpana. Suaranya terdengar hingga keluar panggung. Kupu-kupu yang sudah datang untuk menonton pun sedikit demi sedikit terdiam demi mendengar suara yang sangat merdu yang keluar dari balik panggung.
Beberapa bertanya satu sama lain, “Panggung belum dibuka, tapi nyanyian sudah mulai. Apa yang terjadi? Siapa yang menyanyi? Suaranya bagus sekali.”
Tiba-tiba layar panggung terbuka. Nampaklah Ze sedang menyanyi untuk Tha. Gemuruh suara tepuk tangan menyambut Ze. Semua kupu-kupu berdiri dan memuji-muji suara Ze.
Dan tahukah kamu? Sekarang Ze tak lagi pemalu. Dia menjadi seekor kupu-kupu penyanyi yang terkenal di seantero negeri Bunga. Dan Ze tetaplah Ze. Dia tetap kupu-kupu yang tak sombong dan suka membantu sesamanya.

Misteri Kaos Kaki

Sabtu, 11 Maret 2013

Blue socks Royalty Free Stock Vector Art Illustration
Matahari cerah. Burung-burung yang tinggal di hutan belakang rumah bertengger di pohon pinisium, berkicau menyapa hari. Pagi masih dengan kesibukan yang sama. Mimi dan Uno sudah selesai mandi dan sarapan. Mimi menunggu di pintu pagar. Uno masih di dalam, entah sedang apa.

"Uno...! Ayo....!"
"Iyaaaa... sebentar...!"

Tapi Uno tak kunjung muncul. Mimi kembali ke rumah. Uno sedang mengaduk-aduk keranjang cucian.

"Uno... kamu ngapain?" tanya Mimi.

Uno menunjuk kakinya. Yang kanan memakai kaos kaki. Yang kiri masih telanjang.

"Kaos kakiku cuma sebelah..."
"Ya sudah pakai kaos kaki yang lain saja. Ayo, nanti kita terlambat."
"Tapi semua kaos kakiku tinggal sebelah, Mimi. Tidak ada yang lengkap sepasang."

Uno menunjukkan lima kaos kaki yang dijejer di samping keranjang. Semuanya tinggal sebelah.

"Ha? Kok bisa? Jadi gimana nih?"

Akhirnya Uno memakai sepasang kaos kaki yang tidak sepasang. Keduanya berwarna putih, tapi panjangnya berbeda. Yang kanan selutut, yang kiri setengah lutut. Agar tidak terlihat berbeda, Uno menarik bagian depan kaos kaki yang panjang, lalu dilipat di dalam sepatu, seperti saran Mimi.

"Yah, lumayan..." kata Uno sambil nyengir.

Di perjalanan menuju sekolah, mereka membahas lagi kaos kaki yang hilang sebelah.

"Kenapa kaos kakimu bisa hilang sebelah semuanya, Uno?" tanya Mimi.
"Aku tidak tahu. Aneh sekali kan?"
"Mungkin yang sebelah tersangkut di mesin cuci?"
"Mungkin..."
"Tapi kok semua tersangkut sebelah?"

Uno berhenti sejenak, "Mungkin... mungkin... wah, gawat!"
"Kenapa?" Mimi penasaran.
"Mungkin di dalam mesin cuci ada monster kaos kaki. Dia suka mengambil sebelah kaos kaki, lalu membawanya ke luar angkasa..." Uno memutar-mutar kepalanya sambil mendongak dan menunjuk ke langit.
"Ah... lalu kenapa cuma kaos kakimu yang diambil? Punyaku masih utuh semua."
Mereka kembali berjalan.
"Yah... mungkin... kaos kakimu tidak terlalu kotor seperti punyaku. Padahal monster itu suka kaos kaki yang kotor..." Uno mencoba mencari penjelasan.

Keduanya tertawa sambil melanjutkan perjalanan ke sekolah.

***

Siang saatnya pulang. Mimi berjalan beriringan dengan Naia. Uno berjalan di depannya, sambil bercerita seru membahas permainan di sekolah tadi bersama Radhi, Fathir dan Sapta. Uno berjalan tanpa sepatu, sepatunya dijinjing dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengacung-acung ke depan ke belakang. Teman-temannya tertawa melihat tingkah Uno.  Apa lagi ketika tangan kirinya mulai  ikut beraksi. Sebuah kaos kaki terlempar. Mereka tertawa semakin keras.

Mimi yang melihat hal itu berseru, "Uno!"

Uno terdiam. Radhi, Fathir dan Sapta ikut terdiam. Mereka memandang ke arah Mimi.

"Itu lihat!" Mimi menunjuk sebelah kaos kaki yang terlempar ke jalan. Uno memungutnya.
"Kenapa sih, kamu harus lepas sepatu seperti itu?" tanya Mimi.
"Kan tadi Uno dan teman-teman menunggu Mimi keluar kelas sambil main tanah. Ngga enak kalau pakai sepatu. Nanti sepatunya juga jadi kotor. Makanya Uno lepas sepatu saja. Tapi kalau mau dipakai, kaki Uno sekarang kotor. Jadi mending sepatunya dijinjing aja..."

Mimi melihat ke arah Radhi, Fathir dan Sapta. Semua juga begitu. Telanjang kaki, dan sepatunya dijinjing.

"Tapi kaos kakimu jatuh, dan kamu tidak tahu. Pantas saja, kaos kakimu banyak yang hilang. Coba kalian, lihat apa kaos kakinya masih ada?" Mimi memeriksa sepatu teman-teman Uno.

Kaos kaki Fathir dan Radhi  masih ada. Tapi punya Sapta malah tidak ada dua-duanya.

"Wah, kayanya kaos kakiku ketinggalan di dekat ayunan!"

Mimi menggeleng-geleng. Sapta berlari kembali ke sekolah mengambil kaos kakinya. Uno membenamkan kaos kakinya lebih dalam ke sepatu, agar tidak jatuh ketika dibawa berjalan. Setelah Sapta datang, mereka berjalan pulang.

"Makhluk luar angkasa di dalam mesin cuci, hah?" tanya Mimi kepada Uno. Uno tertawa.
"Hah? Apa? Makhluk luar angkasa di mesin cuci kalian? Ada? Apa yang dia lakukan?" tanya teman-teman Uno beruntun.

Uno mulai membual tentang makhluk misterius yang suka mengambil sebelah kaos kaki yang tersangkut di mesin cuci. Hanya kaos kaki yang sangat kotor, itu sebabnya mereka tidak suka mengambil kaos kaki Mimi. Semua tertawa mendengar cerita Uno, sekaligus mentertawakan Uno yang ternyata kaos kakinya panjang sebelah.

Mulai sekarang, Uno akan berhati-hati membawa kaos kakinya pulang, jika dia lepas ketika bermain sepulang sekolah.

Shioban dan Kereta Kuda

Sabtu, 11 Maret 2013

troika Royalty Free Stock Vector Art Illustration

Istana dilanda kekacauan. Penyihir Cemani baru saja menculik Putri Rumi dan menyihir Raja dan Ratu. Mereka perlahan berubah menjadi patung batu.
"Kalau ingin Putri Rumi kembali dengan selamat, dan Raja serta Ratu tidak menjadi patung batu selamanya, berikan kereta kuda kepadaku. Kalian punya waktu tiga hari untuk memenuhi keinginanku!" begitu pesannya sebelum pergi.
Cemani adalah penyihir jahat. Dia ingin menguasai kerajaan. Padahal dulu dia adalah penyihir istana kesayangan Raja. Kekuatan dan ilmunya yang semakin hebat membuat dia sombong dan menjadi jahat. Dia ingin menguasai kereta kuda, kereta pusaka kerajaan yang menyimpan banyak kekuatan. Dia tidak berhasil mengambil kereta itu, karena Penyihir Patha telah memantrai kereta kuda itu. Siapa pun yang berniat jahat tidak dapat mengambilnya, kecuali ada orang baik yang mengantar dan memberikan kereta itu kepadanya.

Penyihir Patha, penyihir istana yang paling kuat pun telah dikalahkan oleh Cemani. Semua pengawal dan hamba di dalam istana dibuat resah karenanya. Tak terkecuali Shioban, kepala tukang taman kerajaan. Dia tidak ingin Cemani berkuasa, karena dia pasti membuat seluruh negeri menderita. Dikumpulkannya seluruh keberanian, lalu dia datang ke Istal Kerajaan, tempat kereta kuda ajaib disimpan.
"Permisi, Jin Penjaga. Ijinkanlah aku meminjam kereta kuda untuk menyelamatkan Putri Rumi," kata Shioban dengan sopan.
“Kereta kuda hanya untuk para ratu dan penyihir.”
“Maaf, Jin. Kali ini aku harus memaksa.”
Shioban tidak memedulikan jin penjaga yang berusaha menghalanginya. Entah kekuatan dari mana yang datang, jin yang ditepis begitu saja oleh Shioban terpental jauh ke luar pagar istal. Segera dipacunya kuda penarik kereta.
“Hati-hati Shioban! Selain ratu dan penyihir akan perlahan lenyap dalam tiga hari jika nekat menaiki kereta itu! Kau harus…” teriak jin penjaga. Suaranya perlahan menghilang ditelan kejauhan.
Shioban tahu itu. Waktunya hanya tiga hari. Sebatas itu juga waktu yang dia punya untuk membebaskan Putri Rumi dari cengkeraman Penyihir Cemani. Raja dan Ratu telah perlahan menjadi batu. Dan hanya kereta kuda istana yang bisa membawanya ke Lembah Bayangan sebelum waktunya habis.
***
Matahari seperti kehilangan kuasa di lembah ini. Siangnya gelap, malamnya pekat. Pepohonan seperti monster yang mengawasi setiap gerakmu. Bahkan semak dan rerumputan seperti berbisik-bisik mewaspadai kedatanganmu.
Memasuki gerbang rumah Cemani, Shioban memperlambat keretanya. Penyihir Cemani duduk di sebuah kursi goyang di teras rumahnya.
“Aku sudah menunggu kedatanganmu. Aku tahu kau pasti datang mengantarkan kereta itu padaku. Dan sempurnalah kekuatanku untuk menguasai kerajaan…”
“Kau salah, aku datang untuk menjemput Putri Rumi.”
Cemani terbahak. “Sama saja. Untuk menjemput Putri Rumi kau harus mengendarai kereta itu. Kau berhasil sampai ke sini dalam dua hari. Tapi kau harus kembali ke Istana sebelum besok malam, agar Putri Rumi bisa memeluk kedua orang tuanya dan mencegah mereka berubah menjadi patung batu selamanya. Kau pikir kau akan bisa melakukannya, ha?”
“Aku pasti bisa…”
Cemani mengacungkan tongkatnya ke arah Shioban. Shioban bergerak sedikit menangkis. Sinar yang terpancar dari tongkat itu memantul dan menghantam Cemani tanpa ampun. Teriakan Cemani memecah langit. Lalu tubuhnya lenyap menjadi debu. 
Langit tiba-tiba cerah. Mendung menepi memberi jalan pada matahari. Pepohonan yang semula kelabu menjadi hijau cerah. Bunga-bunga yang tertunduk suram menjadi tegak berwarna.
***
Putri Rumi duduk di samping Shioban. Kereta kuda berjalan cepat namun tidak terburu.
“Cepatlah Shioban. Waktuku tinggal satu malam. Aku harus memeluk Ayah dan Ibu agar mereka tidak menjadi patung batu. Aku juga tidak ingin kau lenyap.”
“Tenanglah Tuan Putri. Semua akan baik-baik saja. Sihir Cemani telah lenyap bersama musnah tubuhnya.” 
“Bagaimana kau bisa yakin?”
“Karena hamba putranya.”
Shioban menyimpan cermin kecil yang dia pakai untuk memantulkan sihir Cemani.
"Dulu cermin itu diberikan oleh Ayah kepadaku, untuk melindungi diri dari penyihir-penyihir saingan Ayah.  Satu persatu mereka telah dikalahkan oleh Ayah. Ayahku semakin jahat ketika dia menjadi semakin kuat. Aku tidak setuju. Itu yang membuatku pergi meninggalkannya, dan memilih mengabdi menjadi tukang taman kerajaan…”
"Aku tidak pernah tahu bahwa kau sebenarnya anak Cemani," Putri Rumi menyatakan keheranannya.
"Hamba memang menyembunyikan asal-usul hamba. Hanya Paduka Raja dan Ratu yang tahu. Mereka menerima hamba menjadi Tukang Taman hanya untuk penyamaran."
***
Kedatangan Putri Rumi disambut dengan gegap gempita. Raja dan Ratu urung  menjadi patung batu. Mereka mengadakan syukuran selamatan. Seluruh rakyat diundang untuk ikut bersuka ria. Dan Shioban, dia resmi diangkat menjadi penyihir istana.

Ringgo si Rubah Kecil

Sabtu, 11 Maret 2013


Ringgo membuka pintu jendela kamarnya pelan, udara sejuk masuk menghambur, memenuhi paru-parunya dan membuat badannya segar seketika. Ibu sudah sibuk di halaman, mungkin sedang mengumpulkan kayu bakar.

Hari ini Ringgo dan keluarganya menempati rumah baru di hutan Atograzu bagian selatan, selain lebih dekat dengan tempat ayahnya bekerja, memang sudah waktunya keluarga mereka berpisah dengan keluarga nenek di bagian utara. Sebenarnya Ringgo sangat sedih, harus berpisah dengan teman-temannya, tapi demi melihat ayahnya yang setiap hari kepayahan harus menempuh jarak yang jauh setiap kali bekerja, Ringgo akhirnya menyetujui untuk ikut pindah ke rumah barunya.



“Hari ini aku akan berjalan-jalan keliling desa, siapa tau aku akan bertemu teman baru,” kata Ringgo riang sambil mengibas-ngibaskan ekornya.
“Ibuuuu ... bolehkah aku bermain di luar hari ini?” seru Ringgo sambil menghambur ke pelukan ibunya
“Boleh ... tapi ingat ya sebelum senja sudah dirumah, nanti kita makan malam sama-sama.”
“Baik ibu ... terimakasih.”
Ringgo membungkuk sebentar, seperti seorang hamba yang sedang memberi hormat kepada sang Raja, membuat ibunya tertawa.

***

Ada sebuah pertigaan di depan Ringgo, dia bingung mau menempuh jalan yang mana, hingga terdengar olehnya celotehan anak-anak yang sepertinya sedang asyik bermain. Ringgo mencari sumber suara itu, ternyata ada tanah lapang yang cukup luas di sebelah kanan pertigaan, Ringgo berjalan mendekat.

“Selamat pagi .... aku Ringgo, anak baru di desa ini, bolehkan aku ikut bermain?”
Mereka menoleh, seekor anak macan tutul memandangnya lekat, lalu tertawa mengejek, “Ahh .. tubuhmu kecil sekali apa mungkin kamu bisa berlari cepat mengelilingi tanah lapang ini untuk bermain kasti bersama kami.”

Semua tertawa terbahak-bahak, membuat wajah Ringgo tiba-tiba berubah pias, rasanya ingin marah kepada anak-anak itu, tapi Ringgo ingat pesan ibunya, untuk selalu bersabar.
“Bolehkan kucoba dulu, siapa tahu nanti aku malah yang akan menang,” Ringgo berkata sambil tersenyum jenaka.
“Iya lah ... kita ajak saja dia bermain, makin banyak anak kan makin rame,” Tito si anak Jerapah mendekati Ringgo
“Kenalkan aku Tito, timku kurang satu anggota, kamu boleh bergabung dengan timku.”
“Terima kasih Tito. Aku akan berusaha semampuku,” Tito tersenyum lalu mengajak Ringgo bergabung dengan timnya.

***

Perlombaan pun dimulai, Tim Boni mendapat giliran pertama untuk bermain dan Tim Tito berjaga, Boni gesit sekali memukul bola dan berlari ke arah pos yang paling jauh, sehingga langsung mencetak nilai yang tinggi. Sasi si angsa mencatat nilai dengan seksama sambil sekali-kali membetulkan letak kacamatanya.

Akhirnya Tito berhasil mematahkan permainan tim Boni setelah lemparan bola kastinya mengenai Gigo si kucing.

Ringgo buru-buru mendekati Tito, lalu mereka berbisik-bisik sebentar,  “Aah ... cemerlang sekali gagasanmu Ringgo, mari kita coba, semangat yaa!”

Boni mengamati dengan heran ketika Tim Tito malah saling mendekat dan berkumpul, bukannya buru-buru bermain kasti.
“SEMANGAAATTT!!” Ringgo berteriak, diikuti anggota tim yang lain sambil mengepalkan tangan.

Dika si anjing hutan memukul bola pertama kali, lemparan bolanya tidak begitu jauh, tapi kecepatan lari Dika membuat dia berhasil mencapai pos kedua. Lalu disusul Tito, Tito berhasil mencapai pos ketiga.
“Hei .. Ringgo, kau tidak ikut? Atau Cuma memberi semangat saja?lihat itu temanmu masih berkumpul dipos belum lagi ada yang kembali ke rumah,” ejek Boni
Ringgo bergeming, dia seperti siap-siap hendak melakukan suatu gerakan dan akhirnya, “HAAAAP!!!!”

Ringgo memukul bola dengan sekuat tenaga, meski tidak terlalu jauh lemparannya, tapi dia berlari dan melompat dengan gesit, saat melewati pos ketiga, bola sudah berada di tangan Raki, si kambing jantan kelompok Boni yang jago membidik, Ringgo meneruskan larinya ke pos terakhir, ketika Raki bersiap-siap membidiknya dengan bola kasti Ringgo melompat dengan tangkas, semua menahan nafas dan akhirnya Ringgo lolos dari bidikan Raki.

“Ringgo ... kamu hebattt!!!” seru Beno. Ringgo Menggoyang-goyangkan ekornya sambil tersenyum.
Tapi sayang, tim Ringgo belum ada yang bisa kembali kerumah, sehingga belum mendapatkan nilai. Harapan terakhir adalah pukulan Beno, Beno memang terkenal sebagi pemukul bola kasti yang jitu. Dan akhirnya Beno sudah bersiap-siap memukul ... bola melayang jauh, semua tim Boni sibuk mencari bola hingga ke semak ujung lapangan, Tito, Dika dan Ringgo berlari cepat kembali ke rumah.

 “HORAAAYYYYYY !!!!!”
Semua bersorak, saat tim Tito berhasil mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari Tim Boni.
Boni, diam di ujung lapangan, ketika semua mengelu-elukan Ringgo yang pantang menyerah lagi cerdik.
“Boni ... bolehkah aku jadi temanmu?”
Boni terdiam
“Maafkan aku ya ...”
“Tidak apa-apa Boni, yang penting sekarang kita berteman kan?” kata Ringgo sambil mengedip-ngedipkan matanya.

Mereka tertawa berdua, anak-anak lain mengelilingi mereka sambil bergandengan tangan, menyanyi dan menari bersuka ria.