Sejak itu Kiki
selalu bersemangat mencari harta karun, setiap hari. Tentu saja harta
karun ini bukan berbentuk piala atau emas-emas batangan. Hartu karun
yang ditemukan Kiki adalah hal-hal kecil menyenangkan. Coklat berbentuk
koin, biskuit susu, sebotol kecil madu sampai mobil-mobilan. Kiki
menikmati setiap petualangan kecilnya. Kiki Tidak tahu, bagaimana
benda-benda itu bisa berada di sana. "Pasti ada Ibu Peri yang meletakkan
harta karun tersebut," pikir Kiki.
Kiki belum pernah
melihat Ibu Peri namun dia percaya suatu hari nanti mereka akan
bertemu. Kiki selalu percaya, ada Ibu Peri adalah perempuan bersayap
paling ajaib karena bisa menyediakan apa saja yang diinginkannya, cukup
dengan mengayunkan tongkat bintang berwarna perak berkilauan. Seperti
harta karun yang ditemukan dalam setiap petualangannya.
Pagi ini, Kiki
berjalan ke arah pepohonan, disana dia menemukan sekantung kelereng
berwarna-warni. Kiki sangat senang melihat itu, diambilnya segera dan
mulai memainkannya.
“Kikiiiii… Kiki,
ayo makan dulu” panggil Mama tiba-tiba dari kejauhan. Kiki tidak
mendengarkan panggilan Mama dan terus bermain kelereng.
“Ayo Kiki makan
dulu,” kata Mama yang sudah berada di samping Kiki sambil membawa
sepiring nasi dan lauk pauknya. Kiki melihat sekilas apa yang dibawa
Mamanya, sepotong ayam goreng dan sayur-sayuran tumis. Kiki tidak suka
sayur-sayuran.
“Nggak mau ah Ma, Kiki masih kenyang. Haha.. haha..” Kiki kembali sibuk dengan kelerengnya.
“Kiki, ayo makan
dulu. Supaya kamu punya tenaga untuk bermain lagi,” dengan sabar Mama
mengusap kepala Kiki dan mengambil kelereng dari tangan Kiki.
“Mama.. kembalikan.. Kiki masih ingin bermain..” tangan Kiki menggapai-gapai berusaha merebut kembali kelerengnya.
“Nanti Kiki boleh main lagi, tapi makan dulu ya..”
“Kiki mau makan coklat, nggak mau makan nasi..” Kiki merengek.
“Tidak boleh Ki,
nanti gigi kamu berlubang kalau makan coklat terus. Ayo sekarang makan
nasi dulu.. Ini ada ayam goreng kesukaan Kiki..” rayu Mama. Kiki
cemberut dan marah kemudian berlari ke arah pepohonan, menjauhi Mama.
Mama kewalahan mengejar-ngejar Kiki sambil berusaha menyuapi makanan.
“Kiki jangan
lari-lari, nanti kamu jatuh!” Kiki berlari-lari kesana kemari, pada saat
seperti itu dia membayangkan dirinya punya sayap dan sedang terbang.
Kiki terus berlari tanpa memperhatikan jalan. Dia jatuh tersandung akar
pohon yang besar. Kiki menangis sesenggukan. Mama menghampiri Kiki
dengan khawatir.
“Mama sudah bilang jangan lari-lari, nanti jatuh. Ayo kita masuk ke rumah, nanti Mama obati lukanya.”
Sebelum Mama
sampai ke tempat Kiki berada, Kiki berdiri kemudian berlari dan menabrak
Mama, makanan yang ada di tangan Mama terjatuh. Kiki tidak peduli dan
terus berlari menuju kamarnya. Kiki membanting pintu kamarnya dan
menguncinya rapat-rapat. Kiki menangis lagi di kasur.
“Kenapa sih Mama
tidak pernah mengerti keinginan Kiki? Kenapa Mama sangat suka melarang
Kiki? Kiki tidak boleh ini, tidak boleh itu! Kenapa Mama suka memaksa
Kiki melakukan hal-hal yang Kiki tidak suka? Mama jahat! Kiki mau ketemu
Ibu Peri aja!” ucap Kiki dalam hati.
“Kiki, buka
pintunya. Sini Mama obati dulu lukanya,” Mama mengetuk-ngetuk pintu
kamar Kiki. Kiki terus menangis tanpa menghiraukan Mama. Mama akhirnya
menyerah, menunggu sampai Kiki mau membukakan pintu kamar, agar bisa
mengobati lukanya.
Siang harinya
Kiki terbangun karena suara-suara ribut. Suara tawa anak-anak. Kiki
bangun dari kasurnya, mencari-cari sumber suara ribut tadi. Tapi tidak
ada siapapun di kamar itu kecuali dirinya sendiri.
“Sttt.. lihat dia jadi bangun” ucap seorang anak laki-laki.
“Iya dia bangun.
Tapi dia tidak tahu kita di mana. Lihat dia kebingungan, lucu sekali
ya,” timpal seorang anak perempuan. Lalu suara-suara tawa itu terdengar
lagi. Kiki semakin bingung, karena suara itu jelas terdengar dan sangat
dekat tetapi tidak ada satu sosok pun yang muncul. Kiki juga merasa
diperhatikan.
“Hei.. kami
disini..” suara anak perempuan itu lagi. Kali ini Kiki melirik ke arah
cermin besar dan panjang setinggi badan yang ada di kamarnya. Alangkah
terkejutnya Kiki ketika melihat ada lima sosok anak kecil berdiri di
dalam cermin itu. Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, mereka
memakai baju berwarna-warni dan mahkota terbuat dari dedaunan dan bunga.
Kiki ketakutan, berjalan mundur namun tersandung kasurnya sendiri. Kiki
merasakan lututnya yang terluka kembali sakit namun dilihatnya lutut
itu sudah diobati. Anak-anak dalam cermin itu terkikik. Perhatian Kiki
kembali ke dalam cermin.
“Hei jangan
takut, kami bukan hantu. Hei kemarilah mendekatlah ke dalam cermin” ujar
anak laki-laki lain. Masih dengan takut namun penuh rasa ingin tahu,
Kiki mendekati cermin.
“Kalian ini siapa? Kenapa bisa ada di dalam cermin kamarku?”tanya Kiki.
“Kami sama
seperti kamu, kami manusia yang ingin bebas melakukan apa saja, bebas
makan apa saja, tanpa aturan orang dewasa. Kami mendengar keluhanmu,
maka kami datang ke sini untuk menjemputmu,” ucap anak laki-laki yang
badannya paling tinggi di antara mereka.
“Lalu bagaimana aku bisa bersama kalian? Aku tidak bisa masuk ke dalam cermin.”
“Kami bisa masuk
ke dunia dalam cermin, kamu juga bisa. Nah sekarang yang perlu kamu
lakukan adalah menyentuh bayangan tanganku dalam cermin,” anak laki-laki
paling tinggi itu menyentuhkan tangannya ke cermin, sehingga Kiki bisa
melihat bayangan telapak tangan anak itu. Agak ragu-ragu Kiki
menyentuhkan tangannya ke dalam bayangan telapak tangan anak tadi.
Dengan ajaib tangan mereka bersentuhan dan tubuh Kiki bisa masuk ke
dalam cermin.
Tiba-tiba Kiki
berada di dunia dalam cermin. Dunia yang Kiki lihat dalam cerita-cerita
dongeng. Sinar matahari yang hangat seperti pagi hari, pepohonan rindang
dengan buah yang ranum, anehnya pohon-pohon itu memiliki buah yang unik
seperti coklat-coklat koin, biskuit susu, permen... Ada juga
pohon-pohon yang buahnya adalah berbagai jenis mainan seperti
mobil-mobilan, boneka, robot, buku gambar dan crayon. Di atas pohon
burung-burung berwarna emas membuat sarang, mereka berkicau merdu dengan
riang. Padang rumput yang terhampar luas, sungai kecil yang mengalir
dengan jernih, kupu-kupu terbang diantara bunga-bunga. Belum habis
ketakjuban Kiki, dia baru menyadari pakaiannya berubah menjadi anyaman
daun dan bunga, ringan dan nyaman, di atas kepala tersemat mahkota
mungil.
“Selamat datang di negeri cermin, namaku Tom.” Kata anak laki-laki yang badannya paling tinggi tersebut sambil mengulurkan tangan. Disusul dengan anak-anak lain yang bernama Mika, Bido, Tara, dan Roki. Tom berumur Sembilan tahun, Mika dan Bido berumur tujuh tahun, dan Roki seumur dengannya, lima tahun. Kiki diajak berkeliling untuk melihat-lihat dunia cermin. Betapa menyenangkannya hidup disini, semua hal yang diinginkan Kiki tersedia melimpah ruah. Buah coklat koin yang setiap kali dipetik akan tumbuh kembali, jus buah-buahan aneka rasa dari sumber mata air, dan berbagai jenis mainan baru hadir terus menerus.
Kiki dan teman-teman barunya bermain roller couster berbentuk bunga tulip mekar, mereka berkeliling negeri cermin. Kiki juga menaiki perahu berbentuk daun menyusuri sungai. Danau itu dinaungi pepohonan yang rapat, batang pohonnya menjuntai ke bawah sehingga dengan mudah setiap anak dapat mengambil buahnya kalau merasa lapar. Kiki juga bisa melihat dasar danau karena airnya jernih. Di dalam danau terdapat berbagai jenis tanaman air dan ikan. Kiki dapat menyentuh ikan-ikan itu dengan mudah dan bermain dengan mereka.
“Kita
bisa berenang untuk melihat langsung kehidupan di dalam danau,” Mika menjelaskan dengan bangga.
“Lihat
buah pohon yang seperti gelembung sabun, tinggal memakaikannya ke kepala, maka
kita bisa bernafas di dalam danau,” Bido menunjuk
sebuah pohon besar dengan buah seperti gelembung sabun.
“Nanti
saja, sekarang kita berkeliling dulu melihat-lihat danau dari atas,” ujar Tom.
Kiki hanya mengangguk, baginya melihat-lihat danau dari atas perahu maupun
dalam danau sama menariknya, tapi tidak perlu terburu-buru karena Kiki akan
berada di sana terus.
Tak
terasa hari telah menjelang malam, Tom mengantarkan Kiki ke sebuah rumah besar.
Di situ terdapat banyak kasur berderet-deret. Kasur yang dilengkapi
bantal-bantal besar. Lengkap dengan selimut hangat dan untuk kasur anak
perempuan ada banyak boneka.
“Tempat
tidurmu disini, sebelah tempat tidurku,” kata Tom. Seketika itu juga pakaian
mereka berubah menjadi piyama.
“Sudah
waktunya tidur? Apa kita tidak cuci muka dan gosok gigi?” Tanya Kiki mengingat
kebiasaan sebelum tidur yang diajarkan Mama. Tiba-tiba Kiki teringat Ibu
Peri.
“Iya
tentu saja, sekarang sudah jam delapan malam. Kita tidak perlu cuci muka dan
gosok gigi karena dengan sendirinya badan kita menjadi bersih begitu masuk ke
dalam rumah,” jawab Tom.
“Tom,
apakah di negeri cermin ini ada Ibu Peri?” tanya Kiki. Tom menggeleng.
“Negeri
cermin adalah negeri bagi anak-anak, di sini tidak ada Ibu Peri, karena Ibu
Peri adalah orang dewasa.”
“Oh..” Kiki kecewa.
“Tom,
kenapa kau bisa berada di negeri cermin ini?” tanya Kiki lagi.
“Ceritanya
panjang.. aku sudah sangat lama berada di sini..” Tom menarik nafas panjang,
matanya melihat jauh ke masa lalu. Tom kemudian menceritakan asal muasal kenapa
dia bisa berada di negeri Cermin. Tom adalah anak kesembilan dari sepuluh
bersaudara dalam keluarganya, keluarganya sangat miskin sehingga kakak-kakak
atau adik Tom dititipkan pada sanak keluarga ayah atau ibunya. Karena Tom anak
yang cukup nakal, maka tidak ada sanak keluarga yang mau menampungnya, tidak
juga orang tuanya sendiri. Kesendirian Tom memanggil negeri cermin untuk
menjemputnya.
Tom
mengatakan bahwa kebanyakan penghuni negeri cermin ini adalah anak-anak yang
tidak memiliki cinta orang tuanya, mereka anak-anak yang tidak diinginkan orang
tuanya. Mika misalnya, sejak kecil dia hidup di rumah yatim piatu. Dalam rumah
yatim piatu itu anak-anak datang silih berganti karena ada yang mengambil
mereka sebagai anak, namun tidak ada orang dewasa yang tertarik pada Mika yang
penakut dan pendiam. Tom juga menjelaskan, tidak semua anak dapat memanggil
negeri cermin, hanya mereka yang percaya, yang
dapat masuk ke dalam negeri cermin. Kiki hanya mengangguk-angguk mendengar
penjelasan Tom.
“Tom
apa yang terjadi di negeri asal kita? Apakah tubuhku ada di sana? Apakah kita
bisa keluar dari negeri cermin ini?” Kiki memberondong Tom dengan pertanyaan.
Tom menghelas nafas panjang lagi sebelum menjawab pertanyaan Kiki. Tom mengajak
Kiki ke sebuah Cermin di tengah rumah itu.
“Ini
adalah pintu masuk kita ke dalam negeri cermin. Tubuh kita telah masuk ke dalam
negeri cermin, hanya anak di bawah sepuluh tahun yang bisa masuk ke sini. Di
luar sana waktu akan terus berjalan, tapi umur kita tidak bertambah, kita akan
terus menjadi anak-anak. Cermin ini merupakan pintu keluar kita juga, tapi kita
tidak akan bisa keluar sampai menemukan kuncinya.
“Di mana
kuncinya Tom?”
“Tidak
ada dimana-mana, kami tidak pernah tahu dimana kuncinya. Oya, kalau kau ingin
melihat dunia dimana kamu dulu tinggal, kamu bisa melihatnya dari cermin ini
juga.” Ucap Tom sambil berjalan pergi.
Sepeninggal Tom, Kiki
memperhatikan kehidupan di balik negeri cermin. Kiki melihat Mama sedang
menaruh benda-benda kecil di halaman rumahnya, Mama menyimpannya dengan
hati-hati agar benda-benda itu tidak terlihat namun juga tidak terlalu
tersembunyi. Benda-benda itu adalah sebungkus coklat, robot kecil, dan biskuit.
Kiki akhirnya tahu bahwa yang meletakkan harta karun itu bukanlah Ibu Peri
melainkan Mama. Setelah selesai menaruh benda-benda kecil itu Mama menyiapkan
makanan untuknya. Menyiapkan perban dan obat-obatan. Lalu Mama berjalan ke arah
kamar Kiki. Betapa terkejutnya Mama ketika melihat kamar itu kosong, dengan
tergesa-gesa Mama mencari Kiki di seluruh penjuru rumah, namun Kiki tidak ada.
Kiki sedih melihat Mama
mencari-carinya, “Mama, Kiki disini,” ucapnya sambil melambaikan tangan. Tapi
Mama tidak bisa melihatnya.
“Kiki, kamu dimana?
Marah ya sama Mama? Maafin Mama ya Ki.. Mama sangat menyayangi Kiki.” Mama menangis di kamar Kiki. Kiki merasa sedih karena Mama
menangis. Kiki merasa beruntung punya Mama yang menyayanginya, jauh lebih
beruntung dari pada anak-anak di sini. Kiki menyadari sesuatu, Ibu Peri yang
selama ini dia cari selalu ada bersamanya.
“Mama,
Kiki mau pulang,
tapi Kiki tidak punya kunci pintu dunia cermin. Kiki juga sayang sama
Mama”
Kiki bergumam sambil menangis. Usai mengucapkan kata itu tiba-tiba ada
cahaya
yang keluar dari air mata Mama dan Kiki. Cahaya itu menembus negeri
Cermin,
baik Kiki, Mama, maupun anak-anak lain terkaget-kaget melihat cahaya
itu. Cahaya itu kemudian berubah menjadi kunci bersayap berwarna perak.
Kunci itu
membuka pintu negeri cermin. Tom dan anak-anak seisi negeri cermin
menghampiri
Kiki dan pintu cermin.
“Pulanglah Ki, ada seorang
ibu yang mencintaimu. Pintu itu akan terbuka jika ada orang yang begitu
mencintai kita mengharapkan kita kembali. Kiki sangat beruntung memiliki Mama.”
Tom menghampiri Kiki dan memeluknya. Kiki menjadi lebih sedih karena Kiki
menyukai negeri cermin ini dan teman-teman barunya. Melihat keraguan itu, Tom
tersenyum.
“Pulanglah Ki, kamu
bisa datang kapan saja ke sini. Kamu punya kunci negeri cermin.” Mendengar itu
Kiki menjadi lega, ia melambai kepada seluruh penghuni negeri cermin. Kiki
melangkah masuk ke dalam cermin.
Dalam kamar Kiki, Mama
yang juga melihat air matanya menjadi sinar terkejut melihat kedatangan Kiki.
Mama mengucek matanya tak percaya, Kiki keluar dari dalam cermin. Kiki segera
menghambur ke dalam pelukan Mama. Mama dan Kiki menangis bersama.
“Kiki datang Ibu
Peri..” bisik Kiki di telinga Mama. Mama tersenyum dan memeluk Kiki lebih erat.
Kiki kini bisa menghargai Mama sebagai orang yang mencintainya sepenuh hati. Di
luar sana banyak anak yang mengharapkan cinta seorang Mama, Kiki tahu, dia anak
yang beruntung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar