Penulis: Nyimas Herda | Editor: Hamzet
“Mama, air hangatku mana… aku mau mandi!!!”, teriak Putri nyaring ketika tidak mendapati air hangat di kamar mandi seperti biasa setiap pagi. Begitulah ia pagi itu begitu bangun dari tidurnya yang lelap semalam. Teriakan Putri mengagetkan mamanya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. Tampak olehnya Putri berkacak pinggang angkuh dan dengan mata melotot menandakan kemarahannya kepada sang mama.
“Tadi dipakai adikmu, masak lagi saja…”, jawab sang mama mencoba sabar.
“Aaaah, mama selalu saja menduakan aku… sebenarnya aku anak siapa sih mam?”, suara putri terdengar semakin judes. Lalu ia setengah membanting menutup pintu kamar mandi hingga menimbulkan suara gedubrak. Sekali lagi sang mama dibuatnya kaget dan hanya bisa mengurut dada, menahan amarah yang hendak keluar melihat polah putrinya itu. Dicobanya bersabar sambil melanjutkan pekerjaannya. Papa yang melintas hanya mengangkat bahu, tidak peduli.
Begitulah anak pertama keluarga Berlian yang merupakan keluarga cukup berada dan terpandang di kota itu. Tingkah laku Putri sungguh sulit untuk dikatakan baik. Padahal sedari kecil sang mama selalu berusaha menanamkan nilai keagamaan pada diri putri. Tetapi hal itu seperti memahat di permukaan air, sia-sia. Sebenarnya, dulu sebelum Putri beranjak memasuki masa remaja, perilaku putri tidaklah demikian. Seorang bocah cilik nana manis, tutur katanya sopan dan lembut. Dalam berpakaian pun, dengan kemauannya sendiri biasa mengenakan busana yang menutup seluruh badan khas gadis muslimah bila keluar rumah.
“Kita harus menutup aurat, Ma ya… kalau mau keluar rumah”, begitu celotehnya dengan raut wajah serius dan menggemaskan.
Tapi itu dulu. Setelah seminggu Putri menikmati suasana bangku SMA, dia tidak ingin memakai jilbabnya lagi . Bahkan dengan ekspresi penuh kekesalan dia masukkan semua pakaian muslimah ke dalam kardus dan menyimpannya di gudang. Kemudian dengan setengah memaksa dia mendaulat mamanya untuk membelikan baju-baju baru yang hampir keseluruhannya mempertontonkan keindahan tubuh. Tentu saja sang mama tidak setuju dan mengingatkannya serta memberikan penjelasan panjang lebar tentang kekeliruan sang buah hati yang begitu dicintainya. Namun yang terjadi, Putri bukannya menurut melainkan justru perilakunya berubah menjadi kasar dan suka berteriak-teriak jika berbicara. Putri seolah tidak pernah mendapat pendidikan dan kasih sayang mama dan papanya.
Melihat perubahan perilaku sang anak, hari demi hari mama diundung kesedihan. Berulangkali ia mencoba mengajak papa merundingkan hal itu. Tetapi kesibukan papa kadang membuat mama terpaksa mengurungkan niatnya. Lebih-lebih melihat sikap papa yang sepertinya selalu menghindari percakapan mengenai Putri. ‘Ada apa dengan anakku? Apa dosaku sehingga aku menanggung beban seberat ini?’, begitu ratap lirih mama di sela isaknya tangisnya dalam kesendirian sambil memeluk sepenuh kasih pada adik Putri yang masih balita.
Hampir setahun sudah batin mama tersiksa oleh tingkah Putri. Papa yang diharapkan bisa membantunya mengatasi masalah ini ternyata sama sekali tergerak hatinya. Papa semakin larut dengan kesibukannya mencari nafkah, atau lebih tepat jika dikatakan lebih memetingkan menumpuk materi daripada mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya.
Sebuah pantai yang ada di sudut kota sepertinya merupakan tempat yang tepat bagi sang mama untuk merenungi apa yang tengah terjadi. Kala rasa putus asa memenuhi jiwanya karena perubahan perilaku anak dan suaminya, mama selalu pergi ke pantai bersama putri keduanya. Disusurinya pepasiran putih yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Di tempat itu, mama seolah ingin membuang rasa kesal, marah dan lelahnya menghadapi persoalan berat yang tak kunjung dapat dipecahkannya.
Mama bukanlah penduduk asli kota yang terletak di kepulauan Siantan itu. Tetapi karena sudah sekian lama bermukim di sana, mama sering mendengar kisah tentang bebatuan di pantai itu yang merupakan cerita dari mulut ke mulut penduduk asli kota tersebut.
Pulau Siantan dapat di tempuh dalam waktu 45 nenit dari Pelabuhan Matak dengan menggunakan speedboat. Tarempa, Ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas, berada di pulau ini. Karenanya, pulau ini berpenduduk cukup padat serta mempunyai infrastruktur yang relatif lebih lengkap dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain. Pulau seluas 105,98 Km2 ini terdiri dari empat kecamatan yaitu: Siantan, Siantan Selatan, Siantan Tengah dan Siantan Timur.
Di suatu sore yang tenang, Mama kembali mengunjungi pantai. Namu tak seperti biasanya, saat itu mama bertujuan untuk mencari batu yang sering diceritakan penduduk di sana sebagai batu yang bisa mendengar keluh kesah seorang ibu. Begitulah, sejak saat itu hampir setiap sore sambil mengandeng tangan si kecil mama mengitari pantai mencari batu. Sebuah benda yang sering dikisahkan orang itu.
“Mama pulang yok….”, rengek si kecil yang kepanasan tersorot sinar matahari pantai. Si kecil mengajak sang mama pulang setelah entah sudah berapa jam dan berapa kali mama mengelilingi pantai. Tak dihiraukannya ajakan si kecil . Tekad mama telah bulat untuk menemukan batu itu sampai ketemu. Batinnya tak kuat lagi menahan tumpukan kesal yang tiap hari disesakkan anak gadisnya yang beranjak dewasa. Sikap Putri yang tidak menunjukkan bakti kepada orang tuanya, diitambah lagi dengan sikap papa yang seakan tidak peduli telah membuat mama benar-benar tak mampu lagi untuk terus-menerus bersabar.
“Bentar ya sayang…”, bujuk mama. Segera diangkatnya si kecil untuk digendong agar tidak rewel.
Sore bergerak perlahan. Matahari mulai memancarkan sinar jingga. Namun benda yang dicari-cari mama belum ketemu jua. Merasa capek setelah sekian lama mengitari pantai, akhirnya mama beristirahat di sebuah batu besar di dekat sebuah pohon yang tumbuh tak jauh dari pantai. Pemandangan pantai yang asri sungguh sejuk dipandang dari atas batu besar membuat hati mama merasa tenteram. Dinaikinya lebih tinggi batu itu sampai ke puncak yang ternyata berpermukaan rata. Direbahkannya si kecil yang dari wajahnya menyiratkan rasa lelah, di pangkuannya. Embusan angin sepoi-sepoi dan belaian lembut mama di rambut membuat sikecil tak lama kemudian mengantuk. Bibirnya masih asyik menyedot susu dalam botol. Rasa kenyang kemudian membuat si kecil tidurn pulas sekali.
“Batu.. dapatkah kau mendengar keluhanku ini…?”, tiba-tiba saja mama berkata lirih sambil mengusap batu yang didudukinya.
“Aku tahu ini mustahil, tetapi andai Allah izinkan tentu kau dapat mendengar apa yang hendak aku keluhkan. Aku lelah, wahai batu. Putri anakku, semakin sulit aku kendalikan. Perilakunya semakin tidak terpuji. Dia semakin berani melawan aku sebagi ibunya. Semua keinginannya yang tidak aku turuti selalu dibalasnya dengan bentakan. Bahkan kadangkala meskipun apa kemauannya aku turuti, masih saja ia marah-marah dan menilai aku pilih kasih, lebih memanjakan adik-adiknya. Padahal aku selalu berusaha berbuat adil. Kasih sayang dan perlakuanku kepada anak-anak sama. Aku sudah tidak tahan lagi, aku lelah, batu”, bisikan mama terdengar lirih dan berat. Pandangannya kosong menyapu laut lepas.
Tiba-tiba sang mama kaget. Ia merasakan batu itu bergetar halus, tetapi semakin lama semakin kuat. Sebentar kemudian tampak dihadapannya, batu yang didudukinya merekah.
“Aku ingin berlalu dari semua ini…”, setengah berteriak sang mama melanjutkan kalimatnya di sela keterkejutan. Sementara rekahan batu semakin melebar.
“Apakah kau batu belah batu tertangkup?”, memberanikan diri mama bertanya. Tak ada jawaban. Rekahan semakin lebar membentuk celah.
“Mungkin lebih baik jika aku berada dalam pelukanmu, batu”, nada putus asa keluar dari bibir mama. Dadanya sesak menahan rasa tidak berdaya menghadapi sikap putri dan suaminya. Keputus-asaan semakin merambati jiwanya.
Beberapa saat kemudian, sang mama dengan beban derita di pundaknya melompat ke dalam celah batu. Dilesakkannya tubuhnya hingga setengah duduk ke dalam batu yang terbuka laksana hendak menyambut dan memeluknya.
“Mama kita di mana…?”, jerit si kecil kaget… melihat keadaan di sekitarnya yang sempit. Jeritan si kecil menggema seolah ditaburkan ke seluruh penjuru pantai.
Jeritan si kecil membuat Sang mama tersadar. Ia segera bangkit, berdiri dan mengajungkan anak bungsunya ke luar celah batu dengan susah payah, sampai-sampai lengan halusnya mengucurkan darah segar karena tergores batu.
“Jangan cari mama, Dara… jadilah anak yang baik jangan tiru kakakmu”, Begitu teriak sang mama kepada si kecil setelah berhasil mengeluarkannya dari celah batu.
Perlahan batu itu menutup dan menyatu kembali memeluk sang mama, seperti sediakala tanpa meninggalkan bekas. Tinggallah kini si kecil menangis meraung-raung ketakutan di atas batu.
Sementara itu, di kejauhan nampak Putri dan Papanya berteriak-teriak memanggil nama si kecil dan sang mama. Namun yang didapatinya hanya si kecil yang tengah menangis sejadi-jadinya di atas sebuah batu besar di antara pepohonan yang tumbuh di pinggir pantai..
Sesal kemudian tiada guna. Bersama onggokan derita dan kehancuran hatinya, sang mama memilih berada dalam pelukan batu. Tinggallah si kecil dengan kedukaan dan kenangan manis bersama sang mama yang tak pernah menampakkan sikap marah dalam menghadapi sang kakak yang penuh keangkaramurkaan… serta sang papa yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri dengan dalih demi anak dan istri..
“Mama, air hangatku mana… aku mau mandi!!!”, teriak Putri nyaring ketika tidak mendapati air hangat di kamar mandi seperti biasa setiap pagi. Begitulah ia pagi itu begitu bangun dari tidurnya yang lelap semalam. Teriakan Putri mengagetkan mamanya yang sedang sibuk menyiapkan sarapan pagi. Tampak olehnya Putri berkacak pinggang angkuh dan dengan mata melotot menandakan kemarahannya kepada sang mama.
“Tadi dipakai adikmu, masak lagi saja…”, jawab sang mama mencoba sabar.
“Aaaah, mama selalu saja menduakan aku… sebenarnya aku anak siapa sih mam?”, suara putri terdengar semakin judes. Lalu ia setengah membanting menutup pintu kamar mandi hingga menimbulkan suara gedubrak. Sekali lagi sang mama dibuatnya kaget dan hanya bisa mengurut dada, menahan amarah yang hendak keluar melihat polah putrinya itu. Dicobanya bersabar sambil melanjutkan pekerjaannya. Papa yang melintas hanya mengangkat bahu, tidak peduli.
Begitulah anak pertama keluarga Berlian yang merupakan keluarga cukup berada dan terpandang di kota itu. Tingkah laku Putri sungguh sulit untuk dikatakan baik. Padahal sedari kecil sang mama selalu berusaha menanamkan nilai keagamaan pada diri putri. Tetapi hal itu seperti memahat di permukaan air, sia-sia. Sebenarnya, dulu sebelum Putri beranjak memasuki masa remaja, perilaku putri tidaklah demikian. Seorang bocah cilik nana manis, tutur katanya sopan dan lembut. Dalam berpakaian pun, dengan kemauannya sendiri biasa mengenakan busana yang menutup seluruh badan khas gadis muslimah bila keluar rumah.
“Kita harus menutup aurat, Ma ya… kalau mau keluar rumah”, begitu celotehnya dengan raut wajah serius dan menggemaskan.
Tapi itu dulu. Setelah seminggu Putri menikmati suasana bangku SMA, dia tidak ingin memakai jilbabnya lagi . Bahkan dengan ekspresi penuh kekesalan dia masukkan semua pakaian muslimah ke dalam kardus dan menyimpannya di gudang. Kemudian dengan setengah memaksa dia mendaulat mamanya untuk membelikan baju-baju baru yang hampir keseluruhannya mempertontonkan keindahan tubuh. Tentu saja sang mama tidak setuju dan mengingatkannya serta memberikan penjelasan panjang lebar tentang kekeliruan sang buah hati yang begitu dicintainya. Namun yang terjadi, Putri bukannya menurut melainkan justru perilakunya berubah menjadi kasar dan suka berteriak-teriak jika berbicara. Putri seolah tidak pernah mendapat pendidikan dan kasih sayang mama dan papanya.
Melihat perubahan perilaku sang anak, hari demi hari mama diundung kesedihan. Berulangkali ia mencoba mengajak papa merundingkan hal itu. Tetapi kesibukan papa kadang membuat mama terpaksa mengurungkan niatnya. Lebih-lebih melihat sikap papa yang sepertinya selalu menghindari percakapan mengenai Putri. ‘Ada apa dengan anakku? Apa dosaku sehingga aku menanggung beban seberat ini?’, begitu ratap lirih mama di sela isaknya tangisnya dalam kesendirian sambil memeluk sepenuh kasih pada adik Putri yang masih balita.
Hampir setahun sudah batin mama tersiksa oleh tingkah Putri. Papa yang diharapkan bisa membantunya mengatasi masalah ini ternyata sama sekali tergerak hatinya. Papa semakin larut dengan kesibukannya mencari nafkah, atau lebih tepat jika dikatakan lebih memetingkan menumpuk materi daripada mencurahkan perhatian dan kasih sayang kepada istri dan anak-anaknya.
Sebuah pantai yang ada di sudut kota sepertinya merupakan tempat yang tepat bagi sang mama untuk merenungi apa yang tengah terjadi. Kala rasa putus asa memenuhi jiwanya karena perubahan perilaku anak dan suaminya, mama selalu pergi ke pantai bersama putri keduanya. Disusurinya pepasiran putih yang berkilauan tertimpa sinar matahari. Di tempat itu, mama seolah ingin membuang rasa kesal, marah dan lelahnya menghadapi persoalan berat yang tak kunjung dapat dipecahkannya.
Mama bukanlah penduduk asli kota yang terletak di kepulauan Siantan itu. Tetapi karena sudah sekian lama bermukim di sana, mama sering mendengar kisah tentang bebatuan di pantai itu yang merupakan cerita dari mulut ke mulut penduduk asli kota tersebut.
Pulau Siantan dapat di tempuh dalam waktu 45 nenit dari Pelabuhan Matak dengan menggunakan speedboat. Tarempa, Ibukota Kabupaten Kepulauan Anambas, berada di pulau ini. Karenanya, pulau ini berpenduduk cukup padat serta mempunyai infrastruktur yang relatif lebih lengkap dibandingkan dengan pulau-pulau yang lain. Pulau seluas 105,98 Km2 ini terdiri dari empat kecamatan yaitu: Siantan, Siantan Selatan, Siantan Tengah dan Siantan Timur.
Di suatu sore yang tenang, Mama kembali mengunjungi pantai. Namu tak seperti biasanya, saat itu mama bertujuan untuk mencari batu yang sering diceritakan penduduk di sana sebagai batu yang bisa mendengar keluh kesah seorang ibu. Begitulah, sejak saat itu hampir setiap sore sambil mengandeng tangan si kecil mama mengitari pantai mencari batu. Sebuah benda yang sering dikisahkan orang itu.
“Mama pulang yok….”, rengek si kecil yang kepanasan tersorot sinar matahari pantai. Si kecil mengajak sang mama pulang setelah entah sudah berapa jam dan berapa kali mama mengelilingi pantai. Tak dihiraukannya ajakan si kecil . Tekad mama telah bulat untuk menemukan batu itu sampai ketemu. Batinnya tak kuat lagi menahan tumpukan kesal yang tiap hari disesakkan anak gadisnya yang beranjak dewasa. Sikap Putri yang tidak menunjukkan bakti kepada orang tuanya, diitambah lagi dengan sikap papa yang seakan tidak peduli telah membuat mama benar-benar tak mampu lagi untuk terus-menerus bersabar.
“Bentar ya sayang…”, bujuk mama. Segera diangkatnya si kecil untuk digendong agar tidak rewel.
Sore bergerak perlahan. Matahari mulai memancarkan sinar jingga. Namun benda yang dicari-cari mama belum ketemu jua. Merasa capek setelah sekian lama mengitari pantai, akhirnya mama beristirahat di sebuah batu besar di dekat sebuah pohon yang tumbuh tak jauh dari pantai. Pemandangan pantai yang asri sungguh sejuk dipandang dari atas batu besar membuat hati mama merasa tenteram. Dinaikinya lebih tinggi batu itu sampai ke puncak yang ternyata berpermukaan rata. Direbahkannya si kecil yang dari wajahnya menyiratkan rasa lelah, di pangkuannya. Embusan angin sepoi-sepoi dan belaian lembut mama di rambut membuat sikecil tak lama kemudian mengantuk. Bibirnya masih asyik menyedot susu dalam botol. Rasa kenyang kemudian membuat si kecil tidurn pulas sekali.
“Batu.. dapatkah kau mendengar keluhanku ini…?”, tiba-tiba saja mama berkata lirih sambil mengusap batu yang didudukinya.
“Aku tahu ini mustahil, tetapi andai Allah izinkan tentu kau dapat mendengar apa yang hendak aku keluhkan. Aku lelah, wahai batu. Putri anakku, semakin sulit aku kendalikan. Perilakunya semakin tidak terpuji. Dia semakin berani melawan aku sebagi ibunya. Semua keinginannya yang tidak aku turuti selalu dibalasnya dengan bentakan. Bahkan kadangkala meskipun apa kemauannya aku turuti, masih saja ia marah-marah dan menilai aku pilih kasih, lebih memanjakan adik-adiknya. Padahal aku selalu berusaha berbuat adil. Kasih sayang dan perlakuanku kepada anak-anak sama. Aku sudah tidak tahan lagi, aku lelah, batu”, bisikan mama terdengar lirih dan berat. Pandangannya kosong menyapu laut lepas.
Tiba-tiba sang mama kaget. Ia merasakan batu itu bergetar halus, tetapi semakin lama semakin kuat. Sebentar kemudian tampak dihadapannya, batu yang didudukinya merekah.
“Aku ingin berlalu dari semua ini…”, setengah berteriak sang mama melanjutkan kalimatnya di sela keterkejutan. Sementara rekahan batu semakin melebar.
“Apakah kau batu belah batu tertangkup?”, memberanikan diri mama bertanya. Tak ada jawaban. Rekahan semakin lebar membentuk celah.
“Mungkin lebih baik jika aku berada dalam pelukanmu, batu”, nada putus asa keluar dari bibir mama. Dadanya sesak menahan rasa tidak berdaya menghadapi sikap putri dan suaminya. Keputus-asaan semakin merambati jiwanya.
Beberapa saat kemudian, sang mama dengan beban derita di pundaknya melompat ke dalam celah batu. Dilesakkannya tubuhnya hingga setengah duduk ke dalam batu yang terbuka laksana hendak menyambut dan memeluknya.
“Mama kita di mana…?”, jerit si kecil kaget… melihat keadaan di sekitarnya yang sempit. Jeritan si kecil menggema seolah ditaburkan ke seluruh penjuru pantai.
Jeritan si kecil membuat Sang mama tersadar. Ia segera bangkit, berdiri dan mengajungkan anak bungsunya ke luar celah batu dengan susah payah, sampai-sampai lengan halusnya mengucurkan darah segar karena tergores batu.
“Jangan cari mama, Dara… jadilah anak yang baik jangan tiru kakakmu”, Begitu teriak sang mama kepada si kecil setelah berhasil mengeluarkannya dari celah batu.
Perlahan batu itu menutup dan menyatu kembali memeluk sang mama, seperti sediakala tanpa meninggalkan bekas. Tinggallah kini si kecil menangis meraung-raung ketakutan di atas batu.
Sementara itu, di kejauhan nampak Putri dan Papanya berteriak-teriak memanggil nama si kecil dan sang mama. Namun yang didapatinya hanya si kecil yang tengah menangis sejadi-jadinya di atas sebuah batu besar di antara pepohonan yang tumbuh di pinggir pantai..
Sesal kemudian tiada guna. Bersama onggokan derita dan kehancuran hatinya, sang mama memilih berada dalam pelukan batu. Tinggallah si kecil dengan kedukaan dan kenangan manis bersama sang mama yang tak pernah menampakkan sikap marah dalam menghadapi sang kakak yang penuh keangkaramurkaan… serta sang papa yang terlalu sibuk dengan dirinya sendiri dengan dalih demi anak dan istri..
SELESAI ….. !!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar