Minggu, 12 Mei 2013
Dongeng Anak
Anjing dan Bayangannya
Seekor anjing berlari-lari pulang ke rumah karena telah mendapatkan tulang dari seseorang. Ketika dia melewati sebuah jembatan yang sangat kecil, dia menunduk ke bawah dan melihat bayangan dirinya terpantul dari air di bawah jembatan itu. Anjing yang serakah ini mengira dirinya melihat seekor anjing lain membawa sebuah tulang yang lebih besar dari miliknya.
Bila saja dia berhenti untuk berpikir, dia akan tahu bahwa itu hanyalah bayangannya. Tetapi anjing itu tidak berpikir apa-apa dan malah menjatuhkan tulang yang dibawanya dan langsung melompat ke dalam sungai. Anjing serakah tersebut akhirnya dengan susah payah berenang menuju ke tepi sungai. Saat dia selamat tiba di tepi sungai, dia hanya bisa berdiri termenung dan sedih karena tulang yang di bawanya malah hilang, dia kemudian menyesali apa yang terjadi dan menyadari betapa bodohnya dirinya.
Kancil dan Tikus
Di sebuah hutan, hiduplah dua ekor kancil. Mereka bernama Kanca dan Manggut. Kedua ekor kancil itu bersaudara. Manggut adalah kakak dari Kanca. Sebaliknya, Kanca adalah adik dari Manggut. Walaupun mereka bersaudara, tetapi sifat mereka sangatlah berbeda. Kanca rajin dan baik hati. Sedangkan Manggut pemalas dan suka menjahili teman.
Suatu hari Manggut kelaparan. Tetapi Manggut malas mencari makan. Akhirnya Manggut
mencuri makanan Kanca. Waktu Kanca menanyai kepada Manggut di mana makanannya,
Manggut menjawab dicuri tikus.
“Ah, mana mungkin dimakan tikus!” kata Kanca. “Iya, kok! Masa sama kakaknya tidak percaya!” jawab Manggut berbohong. Mulanya Kanca tidak percaya dengan omongan Manggut. Tetapi setelah Manggut mengatakannya berkali-kali akhirnya Kanca percaya juga. Kanca memanggil tikus ke rumahnya.
“Tikus, apakah kamu mencuri makananku?” tanya Kanca pada tikus. “Ha? Mencuri? Berpikir saja aku belum pernah!” jawab tikus. “Ah, si tikus! Kamu ini membela diri saja! Sudah, Kanca! Dia pasti berbohong,” kata Manggut
.”Ya, sudahlah! Tikus, sebagai gantinya ambilkan makanan di seberang sungai sana. Tadi aku juga mengambil makanan dari sana, kok!” kata Kanca mengakhiri percakapan.
Tikus berjalan ke tepi sungai. Ia menaiki perahu kecil untuk menuju seberang sungai.
Sebenarnya tikus tahu kalau Manggut yang mencuri makanan. Sementara itu, di bagian
sungai yang lain, Manggut cepat-cepat menyeberangi sungai. Ia hendak memasang
perangkap tikus agar tikus terperangkap.
Ketika tikus hampir mendekati seberang sungai, tikus melihat perangkap. Tikus yakin kalau perangkap itu dipasang oleh Manggut. Tiba-tiba tikus mendapat ide. Tikus berpura-pura tenggelam dalam sungai.
“Aaa… Manggut, tolong aku…!” teriak tikus. Mendengar itu Manggut segera menolong tikus. Tikus meminta Manggut mengantarkannya ke seberang sungai. Manggut tidak bisa berbuat apa-apa. Ia mengantarkan tikus ke seberang sungai. Sesampai di seberang sungai tikus meminta Manggut menemani tikus mengambil makanan. Karena Manggut tidak hati-hati, kakinya terperangkap dalam perangkap tikus. Manggut menyesali perbuatan buruknya dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi.
Sabtu, 11 Mei 2013
Kuncung dan Sayur Bbayam
Sabtu, 11 Maret 2013
“Kamu kenapa to, Cung?” tanya Simbok.
“Ndak papa!”
“Lha nek ndak papa kok mukanya mrengut terus!”
Bapak yang lagi masuk rumah juga menegur, “Ndak baek pagi-pagi uring-uringan itu, Cung.”
“Ah embuhlah!”
Kuncung menuju meja makan. “Mbok, makan, mbok.”
Tak berapa lama, Simbok keluar dari dapur sambil membawa cething nasi dari bambu dan setumpuk piring kaleng.
“Iya bentar. Ini lagi disiapkan.”
Simbok berjalan ke dapur, lalu kembali lagi dengan sepanci sayur dan sepiring tempe goreng garit kesukaan Bapak.
Kuncung segera mengambil nasi banyak-banyak, tak lupa dicomotnya tempe
goreng. Suapan pertama sukses bikin Kuncung marah-marah lagi.
“Mbok…! Sayurnya ndak ada rasanya! Kurang asin!”
“Ya kamu tambahin garem aja to, Cung,” sahut Simbok dari dapur.
“Ndak mau!”
Saking kesalnya Kuncung lari keluar rumah dan main bersama si Jabung, ayam jagonya.
Simbok
hanya geleng-geleng kepala di dapur. 'Masak gitu aja kok ya ndak mau,'
pikir Simbok. Diambilnya wadah garam, ditambahkannya sejumput garam ke
dalam sayur bayam. Lalu Simbok kembali ke dapur.
Bapak keluar dari
kamar. Didengarnya tadi Kuncung yang marah-marah karena sayur yang
kurang asin. Bapak mendekat ke meja, dilihatnya wadah garam ada di
samping piring makan Kuncung yang ditinggal.
“Apa ya mau si Kuncung nambah garam sendiri. Simbok ki kepiye…?” gumam Bapak.
Lalu
diambilnya seujung sendok teh garam, dan dimasukkan ke dalam sayur
bayam, dan dikembalikannya garam ke dapur. Simbok sudah keluar untuk
menjemur pakaian.
Kuncung yang sudah capek bermain sama Jabung,
kembali masuk ke rumah. Dilihatnya piring yang berisi nasi yang tadi
belum dihabiskannya. Celingukan dia mencari Simbok. Ndak ada.
“Ugh!
Simbok ini gimana sih?” sungut Kuncung.
Dia lantas ngeloyor ke dapur,
diambilnya wadah garam lalu ditaburkannya sedikit ke dalam sayur bayam.
Sekarang Kuncung sudah siap menyantap makanannya. Tapi …
“Woaaahhhh… oasssssssssssiiiinnn!!!” teriaknya.
Bapak dan Ibu masuk dan melihat Kuncung yang kiyer-kiyer matanya karena keasinan. Ibu mencicipi sayur di piring Kuncung.
"Duh iya, asin banget. Padahal aku cuma nambahin sedikit," kata Ibu.
"Lho, Ibu nambahin garam di piringku?" tanya Kuncung.
"Iya, lha kamu marah-marah katanya sayurnya kurang asin..."
"Ng... Bapak tadi juga nambahin sedikit, Bapak kira Ibu ndak sempat, dan kamu ngambek..." kata Bapak.
Kuncung terdiam. Dia merasa bersalah karena terus-terusan marah-marah, hasilnya malah dia sendiri yang terkena batunya.
"Maafkan Kuncung ya Bu, sudah marah-marah, padahal Ibu sudah capek-capek nyiapin makan.."
"Ya sudah, ambil lagi aja. Besok-besok ndak usah marah-marah yang ndak perlu..."
Bapak dan Ibu masuk dan melihat Kuncung yang kiyer-kiyer matanya karena keasinan. Ibu mencicipi sayur di piring Kuncung.
"Duh iya, asin banget. Padahal aku cuma nambahin sedikit," kata Ibu.
"Lho, Ibu nambahin garam di piringku?" tanya Kuncung.
"Iya, lha kamu marah-marah katanya sayurnya kurang asin..."
"Ng... Bapak tadi juga nambahin sedikit, Bapak kira Ibu ndak sempat, dan kamu ngambek..." kata Bapak.
Kuncung terdiam. Dia merasa bersalah karena terus-terusan marah-marah, hasilnya malah dia sendiri yang terkena batunya.
"Maafkan Kuncung ya Bu, sudah marah-marah, padahal Ibu sudah capek-capek nyiapin makan.."
"Ya sudah, ambil lagi aja. Besok-besok ndak usah marah-marah yang ndak perlu..."
Kisah Si Pink
Sabtu, 11 Maret 2013
Suatu hari, sepasang kakek dan nenek membeliku. Lalu aku dimasukkannya
ke dalam kotak dan dibungkus dengan kertas kado warna warni. Tak lupa
juga diberi pita. Bersamaku ada sebuah kertas yang bertuliskan "Selamat
Ulang Tahun ke-5 Andrea. Semoga tambah pinter, tambah rajin dan menurut
yah sama Mama Papa."
Tak berapa lama, ada tangan-tangan mungil merobek kertas kado dan kardus
pembungkusku. Ternyata seorang gadis kecil berparas manis. Pastilah dia
Andrea, majikan baruku. Matanya berbinar saat melihatku.
"Bagus banget. Makasih, Kakek! Makasih, Nenek!" kata Andrea seraya menghambur dan memeluk Kakek dan Neneknya.
Aku melihat banyak kado di sekeliling kamarnya ini. Tapi tampaknya
akulah yang paling dia sukai. Berkali-kali dia memeluk dan menciumiku.
Berkali-kali juga dia mencobaku. Sedikit kebesaran sepertinya, tapi
kurasa 5 atau 6 bulan lagi, pasti aku sudah pas di badannya.
Keesokan paginya, Andrea mengajakku jalan-jalan. Waaaahhh... ternyata di
sini hawanya memang dingiiiiin sekali, dan kulihat Andrea memang punya
beberapa baju hangat yang lain. Tapi mereka agak lebih kecil daripadaku,
dan sepertinya akulah yang paling cantik di antara mereka.
Hahahahaha... bukannya mau sombong sih, tapi bordir yang menghiasi
badanku paling cerah dan halus di antara mereka.
Setelah berjalan menyusuri kebuh teh, Andrea tiba di sebuah gubuk kecil.
Dinding rumahnya terbuat dari kayu dan anyaman bambu, sehingga angin
yang dingin gampang sekali masuk.
"Permisiiii... Reni ada, Bu?" tanya Andrea kepada seorang ibu setengah baya yang sedang memilihi daun-daun sawi di dapur.
Gubuk ini kecil sekali, sehingga kalau kau masuk pun, kau akan langsung bisa melihat dapur.
"Ada, tapi sedang sakit. Masuk saja, Andrea. Itu dia sedang tiduran di kamar." sahut ibu itu.
Andrea segera masuk ke kamar. Ada seorang gadis manis lain yang sedang
berbaring di atas bale-bale dan dia meringkuk di balik selimut tipis.
Mukanya pucat, dan nafasnya terdengar sangat berat.
"Reni, kamu kenapa?" Ada nada kekhawatiran dalam pertanyaan Andrea. Aku maklum. Pasti Andrea merasa kasihan akan keadaan Reni.
"Aku kedinginan, Andrea. Setiap kali kena angin dingin, nafasku sesak.
Aku hampir tak bisa bernafas. Maaf ya, kemaren aku enggak bisa datang ke
ultahmu."
Andrea tersenyum. "Ga papa, Reni..." lalu mereka mengobrol dengan akrab.
Tak lama, Andrea pamit karena takut mengganggu istirahat Reni. Di
perjalanan, Andrea terlihat sedih sekali padahal ketika berangkat tadi
dia begitu ceria.
Sesampainya di rumah, dilepaskannya aku. Lalu aku dilipat dengan rapi
dan dipeluk lamaaaaa... sekali, sambil sesekali dicuaminya.Lalu
diambilnya kertas kado, dan aku pun dibungkusnya dengan rapi. Ahhh...
aku tahu apa yang akan dilakukan Andrea. Dia pasti ingin menolong Reni
dengan menghadiahkan aku padanya. Karena tubuh Reni lebih besar dan
tinggi daripada Andrea, sehingga tidak akan muat di baju-baju hangat
Andrea yang lain.
Tak berapa lama ada tangan-tangan mungil lain membuka kertas
pembungkusku. Betul dugaanku. Reni! Seperti juga ketika Andrea pertama
kali melihatku, mata Reni juga berbinar ceria setengah tak percaya.
"Andrea! Ini kan baju hangat cantik yang tadi kamu pakai..."
"Iya. Kamu lebih membutuhkannya daripada aku. Baju hangatku yang lain
sih banyak, tapi pasti ga akan muat untukmu. Jadi yang ini untukmu
saja..." jawab Andrea sambil tersenyum.
"Terima kasih, Andrea. Kamu sungguh teman yang baik," kata Reni sambil memeluk Andrea erat-erat.
Andrea tersenyum lebar. Matanya juga berbinar. Malah lebih berbinar ketimbang ketika pertama kali memilikiku.
Ah, aku tau. Dia merasakan bahwa berbagi itu jauh lebih membahagiakan daripada memiliki.
Zee Kupu-kupu Pemalu
Sabtu, 11 Maret 2013
Betul, kalau dilihat-lihat Ze memang kupu-kupu tercantik di
taman bunga itu. Tapi sayang… Ze terlalu pemalu. Sepanjang hari dia hanya
tinggal di dalam rumah saja. Sesekali keluar adalah ketika dia sedang
mengumpulkan madu. Setelah madunya cukup untuk sehari, dia hanya akan tinggal
di rumah bunganya.
Padahal tahukah kamu? Ze pandai sekali menyanyi. Suaranya
lantang dan merdu. Dia tahu semua lagu yang pernah ada, dan bahkan sesekali dia
menciptakan lagu sendiri. Tapi dia hanya mau menyanyi kala berada di dalam
rumahnya yang terkunci rapat. Jadi tak ada seekor kupu-kupu pun yang tahu bahwa
dia pandai menyanyi.
Suatu hari, akan ada perayaan Musim Bunga di taman bunga
dimana Ze tinggal. Beberapa ekor kupu-kupu tampak mendaftar untuk ikut
pertunjukan. Mereka diuji vokal oleh seekor kupu-kupu muda bersayap ungu. Dia
adalah Reth, si kupu-kupu penyanyi. Kabarnya, mereka mencari teman pasangan
duet untuk Reth dalam sebuah drama musikal.
Dan Ze…? Dia hanya berani menonton dari kejauhan. Dia ingin
sekali ikut ujian vokal itu, tapi dia malu, jangan-jangan nanti mereka akan
mentertawakannya. Tapi pasti akan menyenangkan kan, kalau seandainya bisa ikut tampil?
Ahhhh… Ze tertunduk.
Akhirnya dia melangkah mendekati seekor kupu-kupu bersayap
hijau dan perak. Dia sedang menggambar sesuatu.
“Hai, Ze. Mau bantu aku?” sapanya.
“Apa yang bisa kubantu, Urs?”
“Aku sedang membuat panggung untuk pertunjukan. Bisakah kamu
membuat gambarnya?”
“Bisa, Urs,” sahut Ze sambil tersenyum.
Maka Ze membantu Urs untuk membangun panggung pertunjukan
perayaan Musim Bunga.
Setiap hari Ze membantu Urs membangun panggung pertunjukan
dan membuatnya secantik mungkin. Sambil
bekerja, Ze sering mendengarkan para pemain drama berlatih menyanyi. Dia pun
ikut menyanyi, walaupun hanya di dalam hati. Dan setiap kali dia tiba di rumah,
Ze selalu menyanyikan apa saja yang tadi dilatihkan dalam latihan pertunjukan
drama itu. Ze hafal semua lagu yang akan dinyanyikan, dan dia menyanyikannya
dengan baik.
Tibalah saat perayaan Musim Bunga.
Semua kupu-kupu gembira. Mereka memadati tempat dimana akan
diadakan pertunjukan drama musikal itu. Mereka mengagumi panggung yang dibangun
oleh Urs dan Ze. Panggung itu tampak kuat dan kokoh dengan hiasan lampu warna
warni di sana
sini, dan ada lampion-lampion di sepanjang atap panggung. Cantik sekali.
Ze sedang berada di balik panggung. Dia sedang merapikan
semua peralatan dan properti panggung.
Tiba-tiba ada seekor kupu-kupu yang menjerit dengan suara
keras. Ze kaget setengah mati. Buru-buru dia mendatangi arah datangnya suara.
Ternyata Tha, si penyanyi pendamping Reth.
“Ada
apa, Tha?” tanya Ze hati-hati
“Aku … aku gugup sekali. Aku tak tahu musti menyanyi apa.
Lagu yang sudah kuhafal tiba-tiba saja lupa semuanya!” Tha tampak begitu gusar.
“Tenanglah, Tha. Mari kubantu mengingat. Aku hafal semua
lagu yang harus kaunyanyikan.”
Ze pun mulai menyanyi. Suaranya lantang dan merdu. Jernih
sekali, hingga semua kupu-kupu terpana. Suaranya terdengar hingga keluar
panggung. Kupu-kupu yang sudah datang untuk menonton pun sedikit demi sedikit
terdiam demi mendengar suara yang sangat merdu yang keluar dari balik panggung.
Beberapa bertanya satu sama lain, “Panggung belum dibuka,
tapi nyanyian sudah mulai. Apa yang terjadi? Siapa yang menyanyi? Suaranya
bagus sekali.”
Tiba-tiba layar panggung terbuka. Nampaklah Ze sedang
menyanyi untuk Tha. Gemuruh suara tepuk tangan menyambut Ze. Semua kupu-kupu
berdiri dan memuji-muji suara Ze.
Dan tahukah kamu? Sekarang Ze tak lagi pemalu. Dia menjadi
seekor kupu-kupu penyanyi yang terkenal di seantero negeri Bunga. Dan Ze
tetaplah Ze. Dia tetap kupu-kupu yang tak sombong dan suka membantu sesamanya.
Misteri Kaos Kaki
Sabtu, 11 Maret 2013
Matahari cerah. Burung-burung yang
tinggal di hutan belakang rumah bertengger di pohon pinisium, berkicau
menyapa hari. Pagi masih dengan kesibukan yang sama. Mimi dan Uno sudah
selesai mandi dan sarapan. Mimi menunggu di pintu pagar. Uno masih di
dalam, entah sedang apa.
"Uno...! Ayo....!"
"Iyaaaa... sebentar...!"
Tapi Uno tak kunjung muncul. Mimi kembali ke rumah. Uno sedang mengaduk-aduk keranjang cucian.
"Uno... kamu ngapain?" tanya Mimi.
"Kaos kakiku cuma sebelah..."
"Ya sudah pakai kaos kaki yang lain saja. Ayo, nanti kita terlambat."
"Tapi semua kaos kakiku tinggal sebelah, Mimi. Tidak ada yang lengkap sepasang."
Uno menunjukkan lima kaos kaki yang dijejer di samping keranjang. Semuanya tinggal sebelah.
"Ha? Kok bisa? Jadi gimana nih?"
Akhirnya Uno memakai sepasang kaos
kaki yang tidak sepasang. Keduanya berwarna putih, tapi panjangnya
berbeda. Yang kanan selutut, yang kiri setengah lutut. Agar tidak
terlihat berbeda, Uno menarik bagian depan kaos kaki yang panjang, lalu
dilipat di dalam sepatu, seperti saran Mimi.
"Yah, lumayan..." kata Uno sambil nyengir.
Di perjalanan menuju sekolah, mereka membahas lagi kaos kaki yang hilang sebelah.
"Kenapa kaos kakimu bisa hilang sebelah semuanya, Uno?" tanya Mimi.
"Aku tidak tahu. Aneh sekali kan?"
"Mungkin yang sebelah tersangkut di mesin cuci?"
"Mungkin..."
"Tapi kok semua tersangkut sebelah?"
Uno berhenti sejenak, "Mungkin... mungkin... wah, gawat!"
"Kenapa?" Mimi penasaran.
"Mungkin di dalam mesin cuci ada
monster kaos kaki. Dia suka mengambil sebelah kaos kaki, lalu membawanya
ke luar angkasa..." Uno memutar-mutar kepalanya sambil mendongak dan
menunjuk ke langit.
"Ah... lalu kenapa cuma kaos kakimu yang diambil? Punyaku masih utuh semua."
Mereka kembali berjalan.
"Yah... mungkin... kaos kakimu tidak
terlalu kotor seperti punyaku. Padahal monster itu suka kaos kaki yang
kotor..." Uno mencoba mencari penjelasan.
Keduanya tertawa sambil melanjutkan perjalanan ke sekolah.
***
Siang saatnya pulang. Mimi berjalan
beriringan dengan Naia. Uno berjalan di depannya, sambil bercerita seru
membahas permainan di sekolah tadi bersama Radhi, Fathir dan Sapta. Uno
berjalan tanpa sepatu, sepatunya dijinjing dengan tangan kiri. Tangan
kanannya mengacung-acung ke depan ke belakang. Teman-temannya tertawa
melihat tingkah Uno. Apa lagi ketika tangan kirinya mulai ikut
beraksi. Sebuah kaos kaki terlempar. Mereka tertawa semakin keras.
Mimi yang melihat hal itu berseru, "Uno!"
Uno terdiam. Radhi, Fathir dan Sapta ikut terdiam. Mereka memandang ke arah Mimi.
"Itu lihat!" Mimi menunjuk sebelah kaos kaki yang terlempar ke jalan. Uno memungutnya.
"Kenapa sih, kamu harus lepas sepatu seperti itu?" tanya Mimi.
"Kan tadi Uno dan teman-teman
menunggu Mimi keluar kelas sambil main tanah. Ngga enak kalau pakai
sepatu. Nanti sepatunya juga jadi kotor. Makanya Uno lepas sepatu saja.
Tapi kalau mau dipakai, kaki Uno sekarang kotor. Jadi mending sepatunya
dijinjing aja..."
Mimi melihat ke arah Radhi, Fathir dan Sapta. Semua juga begitu. Telanjang kaki, dan sepatunya dijinjing.
"Tapi kaos kakimu jatuh, dan kamu
tidak tahu. Pantas saja, kaos kakimu banyak yang hilang. Coba kalian,
lihat apa kaos kakinya masih ada?" Mimi memeriksa sepatu teman-teman
Uno.
Kaos kaki Fathir dan Radhi masih ada. Tapi punya Sapta malah tidak ada dua-duanya.
"Wah, kayanya kaos kakiku ketinggalan di dekat ayunan!"
Mimi menggeleng-geleng. Sapta
berlari kembali ke sekolah mengambil kaos kakinya. Uno membenamkan kaos
kakinya lebih dalam ke sepatu, agar tidak jatuh ketika dibawa berjalan.
Setelah Sapta datang, mereka berjalan pulang.
"Makhluk luar angkasa di dalam mesin cuci, hah?" tanya Mimi kepada Uno. Uno tertawa.
"Hah? Apa? Makhluk luar angkasa di mesin cuci kalian? Ada? Apa yang dia lakukan?" tanya teman-teman Uno beruntun.
Uno mulai membual tentang makhluk
misterius yang suka mengambil sebelah kaos kaki yang tersangkut di mesin
cuci. Hanya kaos kaki yang sangat kotor, itu sebabnya mereka tidak suka
mengambil kaos kaki Mimi. Semua tertawa mendengar cerita Uno, sekaligus
mentertawakan Uno yang ternyata kaos kakinya panjang sebelah.
Mulai sekarang, Uno akan berhati-hati membawa kaos kakinya pulang, jika dia lepas ketika bermain sepulang sekolah.
Shioban dan Kereta Kuda
Sabtu, 11 Maret 2013
Istana dilanda kekacauan. Penyihir Cemani baru saja menculik Putri Rumi dan menyihir Raja dan Ratu. Mereka perlahan berubah menjadi patung batu.
"Kalau ingin Putri Rumi kembali dengan selamat, dan Raja serta Ratu tidak menjadi patung batu selamanya, berikan kereta kuda kepadaku. Kalian punya waktu tiga hari untuk memenuhi keinginanku!" begitu pesannya sebelum pergi.
Cemani adalah penyihir jahat. Dia ingin menguasai kerajaan. Padahal dulu dia adalah penyihir istana kesayangan Raja. Kekuatan dan ilmunya yang semakin hebat membuat dia sombong dan menjadi jahat. Dia ingin menguasai kereta kuda, kereta pusaka kerajaan yang menyimpan banyak kekuatan. Dia tidak berhasil mengambil kereta itu, karena Penyihir Patha telah memantrai kereta kuda itu. Siapa pun yang berniat jahat tidak dapat mengambilnya, kecuali ada orang baik yang mengantar dan memberikan kereta itu kepadanya.
Penyihir Patha, penyihir istana yang paling kuat pun telah dikalahkan oleh Cemani. Semua pengawal dan hamba di dalam istana dibuat resah karenanya. Tak terkecuali Shioban, kepala tukang taman kerajaan. Dia tidak ingin Cemani berkuasa, karena dia pasti membuat seluruh negeri menderita. Dikumpulkannya seluruh keberanian, lalu dia datang ke Istal Kerajaan, tempat kereta kuda ajaib disimpan.
"Permisi, Jin Penjaga. Ijinkanlah aku meminjam kereta kuda untuk menyelamatkan Putri Rumi," kata Shioban dengan sopan.
“Kereta kuda hanya untuk para ratu dan penyihir.”
“Maaf, Jin. Kali ini aku harus memaksa.”
Shioban tidak memedulikan jin penjaga yang berusaha menghalanginya. Entah kekuatan dari mana yang datang, jin yang ditepis begitu saja oleh Shioban terpental jauh ke luar pagar istal. Segera dipacunya kuda penarik kereta.
“Hati-hati Shioban! Selain ratu dan penyihir akan perlahan lenyap dalam tiga hari jika nekat menaiki kereta itu! Kau harus…” teriak jin penjaga. Suaranya perlahan menghilang ditelan kejauhan.
Shioban tahu itu. Waktunya hanya tiga hari. Sebatas itu juga waktu yang dia punya untuk membebaskan Putri Rumi dari cengkeraman Penyihir Cemani. Raja dan Ratu telah perlahan menjadi batu. Dan hanya kereta kuda istana yang bisa membawanya ke Lembah Bayangan sebelum waktunya habis.
***
Matahari seperti kehilangan kuasa di lembah ini. Siangnya gelap, malamnya pekat. Pepohonan seperti monster yang mengawasi setiap gerakmu. Bahkan semak dan rerumputan seperti berbisik-bisik mewaspadai kedatanganmu.
Memasuki gerbang rumah Cemani, Shioban memperlambat keretanya. Penyihir Cemani duduk di sebuah kursi goyang di teras rumahnya.
“Aku sudah menunggu kedatanganmu. Aku tahu kau pasti datang mengantarkan kereta itu padaku. Dan sempurnalah kekuatanku untuk menguasai kerajaan…”
“Kau salah, aku datang untuk menjemput Putri Rumi.”
Cemani terbahak. “Sama saja. Untuk menjemput Putri Rumi kau harus mengendarai kereta itu. Kau berhasil sampai ke sini dalam dua hari. Tapi kau harus kembali ke Istana sebelum besok malam, agar Putri Rumi bisa memeluk kedua orang tuanya dan mencegah mereka berubah menjadi patung batu selamanya. Kau pikir kau akan bisa melakukannya, ha?”
“Aku pasti bisa…”
Cemani mengacungkan tongkatnya ke arah Shioban. Shioban bergerak sedikit menangkis. Sinar yang terpancar dari tongkat itu memantul dan menghantam Cemani tanpa ampun. Teriakan Cemani memecah langit. Lalu tubuhnya lenyap menjadi debu.
Langit tiba-tiba cerah. Mendung menepi memberi jalan pada matahari. Pepohonan yang semula kelabu menjadi hijau cerah. Bunga-bunga yang tertunduk suram menjadi tegak berwarna.
***
Putri Rumi duduk di samping Shioban. Kereta kuda berjalan cepat namun tidak terburu.
“Cepatlah Shioban. Waktuku tinggal satu malam. Aku harus memeluk Ayah dan Ibu agar mereka tidak menjadi patung batu. Aku juga tidak ingin kau lenyap.”
“Tenanglah Tuan Putri. Semua akan baik-baik saja. Sihir Cemani telah lenyap bersama musnah tubuhnya.”
“Bagaimana kau bisa yakin?”
“Karena hamba putranya.”
Shioban menyimpan cermin kecil yang dia pakai untuk memantulkan sihir Cemani.
"Dulu cermin itu diberikan oleh Ayah kepadaku, untuk melindungi diri dari penyihir-penyihir saingan Ayah. Satu persatu mereka telah dikalahkan oleh Ayah. Ayahku semakin jahat ketika dia menjadi semakin kuat. Aku tidak setuju. Itu yang membuatku pergi meninggalkannya, dan memilih mengabdi menjadi tukang taman kerajaan…”
"Aku tidak pernah tahu bahwa kau sebenarnya anak Cemani," Putri Rumi menyatakan keheranannya.
"Hamba memang menyembunyikan asal-usul hamba. Hanya Paduka Raja dan Ratu yang tahu. Mereka menerima hamba menjadi Tukang Taman hanya untuk penyamaran."
***
Kedatangan Putri Rumi disambut dengan gegap gempita. Raja dan Ratu urung menjadi patung batu. Mereka mengadakan syukuran selamatan. Seluruh rakyat diundang untuk ikut bersuka ria. Dan Shioban, dia resmi diangkat menjadi penyihir istana.
Ringgo si Rubah Kecil
Sabtu, 11 Maret 2013
Hari ini Ringgo dan keluarganya menempati rumah baru di hutan Atograzu bagian selatan, selain lebih dekat dengan tempat ayahnya bekerja, memang sudah waktunya keluarga mereka berpisah dengan keluarga nenek di bagian utara. Sebenarnya Ringgo sangat sedih, harus berpisah dengan teman-temannya, tapi demi melihat ayahnya yang setiap hari kepayahan harus menempuh jarak yang jauh setiap kali bekerja, Ringgo akhirnya menyetujui untuk ikut pindah ke rumah barunya.
“Hari ini aku akan berjalan-jalan keliling desa, siapa tau aku akan bertemu teman baru,” kata Ringgo riang sambil mengibas-ngibaskan ekornya.
“Ibuuuu ... bolehkah aku bermain di luar hari ini?” seru Ringgo sambil menghambur ke pelukan ibunya
“Boleh ... tapi ingat ya sebelum senja sudah dirumah, nanti kita makan malam sama-sama.”
“Baik ibu ... terimakasih.”
Ringgo membungkuk sebentar, seperti seorang hamba yang sedang memberi hormat kepada sang Raja, membuat ibunya tertawa.
***
Ada sebuah pertigaan di depan Ringgo, dia bingung mau menempuh jalan yang mana, hingga terdengar olehnya celotehan anak-anak yang sepertinya sedang asyik bermain. Ringgo mencari sumber suara itu, ternyata ada tanah lapang yang cukup luas di sebelah kanan pertigaan, Ringgo berjalan mendekat.
“Selamat pagi .... aku Ringgo, anak baru di desa ini, bolehkan aku ikut bermain?”
Mereka menoleh, seekor anak macan tutul memandangnya lekat, lalu tertawa mengejek, “Ahh .. tubuhmu kecil sekali apa mungkin kamu bisa berlari cepat mengelilingi tanah lapang ini untuk bermain kasti bersama kami.”
Semua tertawa terbahak-bahak, membuat wajah Ringgo tiba-tiba berubah pias, rasanya ingin marah kepada anak-anak itu, tapi Ringgo ingat pesan ibunya, untuk selalu bersabar.
“Bolehkan kucoba dulu, siapa tahu nanti aku malah yang akan menang,” Ringgo berkata sambil tersenyum jenaka.
“Iya lah ... kita ajak saja dia bermain, makin banyak anak kan makin rame,” Tito si anak Jerapah mendekati Ringgo
“Kenalkan aku Tito, timku kurang satu anggota, kamu boleh bergabung dengan timku.”
“Terima kasih Tito. Aku akan berusaha semampuku,” Tito tersenyum lalu mengajak Ringgo bergabung dengan timnya.
***
Perlombaan pun dimulai, Tim Boni mendapat giliran pertama untuk bermain dan Tim Tito berjaga, Boni gesit sekali memukul bola dan berlari ke arah pos yang paling jauh, sehingga langsung mencetak nilai yang tinggi. Sasi si angsa mencatat nilai dengan seksama sambil sekali-kali membetulkan letak kacamatanya.
Akhirnya Tito berhasil mematahkan permainan tim Boni setelah lemparan bola kastinya mengenai Gigo si kucing.
Ringgo buru-buru mendekati Tito, lalu mereka berbisik-bisik sebentar, “Aah ... cemerlang sekali gagasanmu Ringgo, mari kita coba, semangat yaa!”
Boni mengamati dengan heran ketika Tim Tito malah saling mendekat dan berkumpul, bukannya buru-buru bermain kasti.
“SEMANGAAATTT!!” Ringgo berteriak, diikuti anggota tim yang lain sambil mengepalkan tangan.
Dika si anjing hutan memukul bola pertama kali, lemparan bolanya tidak begitu jauh, tapi kecepatan lari Dika membuat dia berhasil mencapai pos kedua. Lalu disusul Tito, Tito berhasil mencapai pos ketiga.
“Hei .. Ringgo, kau tidak ikut? Atau Cuma memberi semangat saja?lihat itu temanmu masih berkumpul dipos belum lagi ada yang kembali ke rumah,” ejek Boni
Ringgo bergeming, dia seperti siap-siap hendak melakukan suatu gerakan dan akhirnya, “HAAAAP!!!!”
Ringgo memukul bola dengan sekuat tenaga, meski tidak terlalu jauh lemparannya, tapi dia berlari dan melompat dengan gesit, saat melewati pos ketiga, bola sudah berada di tangan Raki, si kambing jantan kelompok Boni yang jago membidik, Ringgo meneruskan larinya ke pos terakhir, ketika Raki bersiap-siap membidiknya dengan bola kasti Ringgo melompat dengan tangkas, semua menahan nafas dan akhirnya Ringgo lolos dari bidikan Raki.
“Ringgo ... kamu hebattt!!!” seru Beno. Ringgo Menggoyang-goyangkan ekornya sambil tersenyum.
Tapi sayang, tim Ringgo belum ada yang bisa kembali kerumah, sehingga belum mendapatkan nilai. Harapan terakhir adalah pukulan Beno, Beno memang terkenal sebagi pemukul bola kasti yang jitu. Dan akhirnya Beno sudah bersiap-siap memukul ... bola melayang jauh, semua tim Boni sibuk mencari bola hingga ke semak ujung lapangan, Tito, Dika dan Ringgo berlari cepat kembali ke rumah.
“HORAAAYYYYYY !!!!!”
Semua bersorak, saat tim Tito berhasil mendapatkan nilai yang lebih tinggi dari Tim Boni.
Boni, diam di ujung lapangan, ketika semua mengelu-elukan Ringgo yang pantang menyerah lagi cerdik.
“Boni ... bolehkah aku jadi temanmu?”
Boni terdiam
“Maafkan aku ya ...”
“Tidak apa-apa Boni, yang penting sekarang kita berteman kan?” kata Ringgo sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Mereka tertawa berdua, anak-anak lain mengelilingi mereka sambil bergandengan tangan, menyanyi dan menari bersuka ria.
Si Uno Sakit Perut
Sabtu, 11 Maret 2013
“Uno, kamu mau ikut kami tidak?” tanya Mimi.
Di belakang Mimi ada Radhi, Sapta dan Naia, teman-teman
sekolahnya.
“Mau kemana?”
“Mau menjenguk Fathir. Dia kan sakit, sejak kemarin tak masuk sekolah.”
“Oh, baiklah. Aku ikut.”
Maka berangkatlah mereka berlima ke rumah Fathir
bersama-sama. Di perjalanan Uno baru sadar kalau Mimi dan teman-temannya
masing-masing membawa bungkusan tas plastik.
“Kalian bawa apa itu?”
“Oh, ini? Aku sih bawah roti yang tadi siang dibikin Ibu,”
jawab Mimi.
“Aku bawa kue,” jawab Radhi.
“Aku bawa pepaya. Tadi siang, ayahku memetik pepaya dari
pohon yang tumbuh di halaman rumah. Banyak sekali yang masak. Aku minta satu
untuk kuberikan pada Fathir,” jawab Naia panjang lebar.
“Aku sih bawa buku. Biar Fathir tak bosan di tempat tidur,”
jawab Sapta.
“Hmmm.. kenapa musti bawa begituan sih?” tanya Uno lagi.
“Uno, ini kan
seperti kata Ibu Guru, untuk menunjukkan simpati kita pada teman yang sedang
sakit dan ikut mendoakan supaya dia lekas sembuh,” jelas Mimi.
Uno hanya diam saja sambil mengamati bungkusan-bungkusan
yang dibawa oleh teman-temannya.
Sesampainya di rumah Fathir, mereka kemudian menyerahkan
bungkusan oleh-oleh tadi kepada Fathir. Fathir tampak senang sekali diberi
roti, kue, pepaya dan buku oleh teman-temannya. Uno entah kenapa sejak tadi
masih diam saja. Matanya terus saja mengamati semua bingkisan yang tadi dibawa.
Bahkan ketika Mimi, Fathir, Radhi dan Naia ramai sekali mengobrol, Uno masih
tetap diam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
**
Keesokan harinya, Mimi mengetuk pintu kamar Uno.
“Unooooo…! Ayo bangun…!! Kamu tak sekolah?”
Tak terdengar suara dari dalam kamar Uno. Mimi lalu mengetuk
sekali lagi dengan lebih keras.
“Unooooooooo…!! Banguuuun…!!”
… dan masih saja tak ada jawaban. Dengan heran, Mimi memutar
handle dan dibukanya pintu. Dilihatnya Uno berbaring meringkuk di balik
selimut. Perlahan Mimi mendekati Uno. Disentuhnya pundak Uno.
“Uno…?”
Betapa kagetnya dia ketika dilihatnya Uno meringis-ringis.
“Kamu kenapa?”
“Addduuuuuhhhh………,” rintih Uno.
“Kenapa? Ada
apa?” Mimi semakin cemas.
“Aduhhhh, Mi… Perutku sakit sekali,” rintihnya sambil memegangi
perut dan berguling ke kanan dan ke kiri.
“Wah, ya sudah, nanti aku bilang sama Ibu kalau perutmu
sakit. Sudah, kamu tak usah sekolah saja. Istirahat saja di rumah.”
Mimi lalu bergegas keluar kamar dan memberi tahu Ibu tentang
apa yang terjadi dengan Uno. Sekeluarnya Mimi dari kamar, Uno bangun dari
tempat tidur, mengendap-endap ke arah pintu dan mengintip dari lubang kunci.
Lalu dia meloncat kegirangan.
“Yes!” katanya, “Sebentar lagi aku pasti akan diberi makanan
yang enak-enak, komik-komik dan minuman-minuman yang segar.”
Oowwww… ternyata, Uno berbohong. Dia tidak sakit, tapi dia
ingin dimanjakan dan diberi makanan yang enak-enak oleh teman-teman.
Tak lama, Ibu pun mengetuk pintu kamar Uno. Uno segera masuk
lagi ke balik selimut dan memasang tampang memelas. Ibu membuka pintu dan
ternyata Ibu membawakan segelas teh hangat untuk Uno.
“Kamu sakit? Ini Ibu bawakan teh, juga obatnya. Segera
diminum yaaa.. supaya kamu lekas sembuh.”
Ketika Ibu sudah keluar, Uno meminum tehnya dengan nikmat
sekali. Diambilnya obat yang ada di tatakan gelas, dan lalu dilemparkannya
keluar jendela.
“Aku kan
tidak memerlukan obat ini. Kalau tidak kubuang, nanti ketahuan aku tidak
sakit,” gumamnya.
Tak lama, Ibu masuk lagi ke kamarnya.
“Sudah diminum obatnya? Wah, pinter. Nanti pasti segera
sembuh. Nih, ibu bawakan roti kesukaanmu.”
Waaaahhh.. Ini dia!! Uno memakan habis semua roti yang ada
di piring setelah Ibu keluar dari kamar. Perutnya lantas menjadi kenyang.
Ahhhh, enaknya kalau sakit itu. Kalau seperti ini sih, sepertinya aku mau sakit
tiap hari. Pikirnya.
Siang harinya, kembali ada ketukan di pintu kamarnya. Uno
segera masuk lagi ke balik selimut, dan mempersilakan masuk.
Ternyata ada Mimi, Naia, Radhi, Fathir dan Sapta.
“Kamu sakit, Uno? Ini kami bawakan roti, kue dan biskuit.
Juga buah. Semoga kamu lekas sembuh ya…” kata Naia.
“Wah, terima kasih ya teman-teman,” kata Uno sambil
pura-pura meringis-ringis kesakitan. “Kalau kalian tak keberatan, aku mau
istirahat dulu ya. Nanti makanan dari kalian pasti kumakan. Tapi perutku ini
sekarang sakit sekali. Jadi, bisakah kalian pulang saja?”
Naia, Radhi, Mimi, Fathir dan Sapta saling berpandangan.
“Baiklah kalau begitu, Uno. Semoga cepat sembuh,” kata Mimi
dan mereka pun berpamitan.
Sepeninggal teman-temannya, Uno meloncat turun dari tempat
tidur lalu membuka semua bungkusan itu dengan tergesa-gesa. Dimakannya semua
roti, kue dan biskuit itu dengan senang. Tangan kanan memegang roti, tangan
kiri memegang kue, dan dengan bersama-sama dimasukkannya semua ke mulutnya.
Tak berapa lama kemudian, semua roti, kue dan biskuit itu
sudah habis dimakannya.
Uno bersandar kekenyangan di kursi. Dia lalu berjalan
sempoyongan ke arah kasur bermaksud untuk merebahkan diri sejenak.
Dan… tiba-tiba, perutnya sakiiiiiittt sekali. Aduuuuuhh… Uno
mengernyit. Kok tiba-tiba sakit begini? Sekali lagi perutnya melilit.
Aduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhh… Uno memegangi perutnya. Dan sekali lagi melilit
lagi. Aduuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuhhh… Uno bangun dan duduk di kasur.
Perutnya pun makin melilit dan sakit. Dia juga merasa mual dan ingin muntah. Lama-lama menjadi tak
tertahankan. Terbungkuk-bungkuk Uno berlari ke belakang. Ibu melihat Uno
berlari sambil memegangi perut ke arah WC.
“Uno, kenapa kamu nak?”
Uno tidak menjawab. Dia menangis di dalam WC. Dalam hati dia
berjanji, tak akan berpura-pura sakit lagi.
Ulin si Ulat Mebjadi Kupu-kupu
Sabtu, 11 Maret 2013
Semit Semut berjalan-jalan ke kebun.
Pagi ini indah. Semalam hujan. Jadi hawanya segar sekali. Embun satu-satu menetes dari pucuk dedaunan. Matahari nampak malu-malu di garis horizon. Banyak teman-teman sudah keluar rumah untuk memulai pagi.
Ahhhh... senangnya.
Tiba-tiba Semit Semut melihat seekor makhluk lucu di kejauhan. Badannya panjang sekali. Jauh lebih panjang darinya. Makhluk itu sibuk memakan dedaunan hijau di kebun yang luas ini. Semit Semut menghampirinya penuh rasa ingin tahu.
"Halo. Kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya," sapa Semit Semut.
"Oh, halo. Aku Ulin Ulat. Senang bertemu denganmu. Iya, aku baru saja menetas dari telurku," jawab makhluk itu.
Oooo.. ternyata dia Ulin Ulat. "Wah, kamu makannya banyak sekali, Ulin Ulat." Semit Semut terheran-heran.
"Hihihi... Iya. Aku memerlukan makanan yang banyak agar aku tumbuh sehat dan segera besar. Aku ingin segera menjadi kupu-kupu yang cantik."
"Wow! Kamu bisa berubah menjadi kupu-kupu?"
Ulin Ulat mengangguk sambil terus makan dedaunan.
"Bagaimana caranya?"
Ulin Ulat tersenyum melihat keingintahuan Semit Semut yang demikian besar. Dia lalu berhenti makan sejenak, dan mengajak Semit Semut duduk di atas batu.
"Aku nanti akan menjadi kupu-kupu, Semit Semut. Caranya? Ya, aku harus banyak makan makanan yang bergizi, yang kuperlukan untukku tumbuh besar, kuat dan sehat, karena nantinya aku ingin menjadi kupu-kupu yang cantik. Dua minggu lagi, jika aku sudah cukup besar dan kuat, aku akan berubah menjadi kepompong."
"Kepompong? Apa itu?" tanya Semit Semut.
"Kepompong itu rumahku beristirahat, Semit Semut. Aku akan menggelantung di salah satu cabang pohon, lalu membungkus diriku dengan benang yang kuhasilkan dari tubuhku sendiri. Di dalam kepompong itu aku akan memulai proses yang menakjubkan untuk berubah menjadi kupu-kupu dewasa yang cantik."
"Wow! Berapa lama kamu akan berada dalam kepompong itu?"
"Sekitar dua minggu juga."
"Lalu setelah itu, kamu akan keluar dari kepompong sebagai kupu-kupu yang cantik?"
"Iya," jawab Ulin Ulat sambil beranjak dari duduknya untuk kembali melanjutkan makan. "Nanti kamu pasti akan terkejut melihatku."
Semit Semut tersenyum. Dalam hati dia sangat menantikan datangnya hari Ulin Ulat berubah menjadi kupu-kupu.
* * *
Pagi itu, hawanya juga segar. Matahari bersinar terang. Burung-burung sudah bangun dan sibuk bernyanyi dan mandi.
Sudah berhari-hari sejak pertemuan pertamanya dengan Ulin Ulat. Semit Semut berjalan-jalan lagi keluar ke kebun, untuk menghirup udara pagi.
Tiba-tiba dilihatnya seekor binatang cantik yang hinggap di dedaunan. Dia bersayap lebar warna-warni. Di kepalanya ada antena yang panjang dan gagah. Tubuhnya ramping. Matanya besar.
"Halo. Kamu siapa? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya," sapa Semit Semut.
"Hai, Semit Semut! Ini aku, Ulin Ulat! Tapi aku sudah menjadi kupu-kupu sekarang," jawab binatang itu.
Wah, ternyata itu Ulin Ulat yang sudah berubah menjadi kupu-kupu.
"Waahh! Cantiknya kamu, Ulin Ulat. Eh, tapi tentu namamu bukan Ulin Ulat lagi kan?"
"Hahahaha..." Ulin tergelak. "Panggil saja aku Ulin Kupu-kupu. Lihat sayapku, Semit Semut. Cantik ya?"
"Ah, iya. Kamu cantik sekali."
"Sudah ya, aku sekarang harus mencari madu. Karena makananku sekarang madu."
"Oh, begitu. Baiklah, Ulin Kupu-kupu. Kapan-kapan kita ngobrol lagi ya?"
"Dengan senang hati!"
Tak lama kemudian, Ulin Kupu-kupu sudah terbang membubung tinggi untuk mencari madu. Semit Semut tersenyum sambil menatap kepergian sahabat lamanya yang sudah berubah wujud.
Peri Makanan
Sabtu, 11 Maret 2013
Anak-anak
memanggil Georgia sebagai “Si gemuk dari Selatan”. Tapi Georgia tidak
pernah menanggapi ledekan teman-temannya itu. Hingga suatu hari, ketika
teman sekolahnya yang bernama Will lupa membawa bekal dari rumah,
Georgia memberinya roti gandum dengan parutan keju dan mentega di
dalamnya.
Tetapi
Will malah marah dan berkata, “Aku tidak mau makan, makanan darimu!
Nanti aku akan berubah menjadi balon raksasa sepertimu!” ucapnya sambil
membuang roti gandum itu ke tanah, hingga rotinya menjadi kotor.
Georgia
sangat sedih mendapat perlakuan seperti itu, padahal dia berniat baik.
Tetapi yang membuatnya semakin sedih karena dia mendengar roti gandum
itu menangis.
“Roti gandum, kenapa kau menangis seperti itu? Suaramu sangat menyayat hati,” tanya Georgia pada roti gandum.
“Aku
sedih karena sekarang tubuhku kotor, tentu tidak ada yang mau memakanku
lagi. Padahal, kebahagiaan setiap makanan bila dimakan sampai tidak
bersisa,” jawab roti gandum dengan terisak-isak.
“Roti
gandum, jangan bersedih, aku akan memakanmu sampai habis,” janji
Georgia. Lalu dibersihkannya kotoran yang menempel pada roti gandum itu,
kemudian melahapnya.
Georgia
sering melihat teman-temannya menyisakan makanan, hingga Geogria selalu
mendengar mereka menangis. Georgia lalu mengumpulkan makanan-makanan
itu. Sebagian dimakannya, sebagaian ia berikan pada burung-burung,
kucing, atau binatang apapun disekitarnya yang terlihat kelaparan.
Karena itu para binatang sangat sayang pada Georgia.
Suatu
hari, pada pelajaran olahraga, Ibu Guru menyuruh anak-anak untuk
melakukan lompat atletik dengan melewati galah. Satu-satunya yang gagal
melewati galah hanyalah Georgia. Karena tubuhnya terlalu besar hingga
membuatnya sulit untuk meloncat. Melihat itu, teman-temannya malah
menertawakannya terbahak-bahak. Untuk pertama kalinya Georgia menyesali
keadaan dirinya.
“Ah,
andai aku memiliki tubuh yang kecil, tentu aku bisa terbang sebebas
burung. Mengelilingi negeri awan, dan bercanda dengan mentari.” Ucapnya
dalam hati.
Tapi
Georgia tidak bisa berhenti makan, tubuhnya masih saja terus bertambah
besar. Melihat itu, teman-temannya suka menjahili Georgia dengan
menyimpan cermin besar di meja belajarnya di sekolah. Setiap kali
Georgia melihat cermin itu, Ben, Will, dan Ricard akan meledeknya.
Kemudian Georgia akan menjerit dan menyesal setiap kali makan. Akhirnya,
Guru mereka, Irene, melerai Ben, Will, dan Ricard.
“Ben, Will, dan Ricard, kalian kemarilah,” ucap Guru Irene.
Ketika
Ben, Will, dan Ricard datang, diletakannya cermin besar di depan
mereka. Cermin itu adalah cermin yang biasa mereka simpan di meja
Georgia.
“Ben, Will, dan Ricard, apa yang kalian lihat di dalam cermin ketika Georgia bercermin di sana?” tanyanya lembut.
“Anak yang gemuk,” jawab Ben malu-malu.
“Georgia yang rakus,” jawab Will lantang.
“Rak … sasa,” jawab Ricard ragu-ragu.
“Hmmm … baiklah ... sekarang, apa yang kalian lihat ketika bercermin?” tanya Guru Irene lagi.
“Aku melihat diriku sendiri, Ben, dan juga Ricard,” jawab Will cepat.
“Aku juga sama Bu,” jawab Ben.
“Tentu saja hanya ada kami Bu,” jawab Ricard dengan suara pelan.
Ketiga anak itu nampak kebingungan dengan pertanyaan-pertanyaan Guru Irene. Apa maksud ibu guru mereka itu?
“Kenapa
aku hanya melihat tiga anak jahil yang suka menjahati temannya sendiri.
Mereka tampak seperti nenek sihir yang jahat,” ucap Guru Irene yang
membuat Ben, Will, dan Ricard menjadi tersipu-sipu malu.
“Jika
kalian hanya melihat tampilan luar seseorang saja, maka orang lain pun
akan melihat hal yang sama pada diri kalian. Jika kalian hanya melihat
kekurangan seseorang, maka orang lain pun akan selalu mencari kekurangan
kalian,” jelas Guru Irene.
Ben,
Will, dan Ricard mengerti maksud guru mereka. Mereka lalu mendatangi
Georgia dan meminta maaf padanya. Setelah itu, mereka tidak pernah
meledek Georgia lagi, juga tidak menyimpan cermin di mejanya. Tetapi
Georgia sudah terlanjur benci bercermin. Dia membuang semua cermin yang
dimilikinya, hingga dia tidak usah bercermin lagi.
Georgia
menjadi anak yang pemurung, dia selalu tampak bersedih. Hingga suatu
malam yang cerah, Georgia terbangun dari tidurnya. Dia mendengar banyak
suara yang memanggilnya.
“Georgia, bangunlah ….” Begitulah suara-suara itu memanggilnya
Ketika
dia membuka mata, terlihat olehnya banyak makanan tersenyum padanya,
mereka bersayap dan bisa terbang. Georgia bahagia sekali melihat mereka.
“Wow … aku bertemu para peri makanan,” pikirnya.
“Akhirnya kau bangun juga Georgia, kami sudah lama menunggumu,” ucap wortel bersayap dengan suaranya yang indah seperti lonceng.
“Kami sudah tidak sabar mengajakmu pergi,” ucap Roti bersayap sambil menggenggam tangan Georgia lembut.
“Kalian akan membawaku pergi ke mana?” tanya Georgia.
“Ke negeri awan,” jawab sosis terbang sambil tersenyum.
“Tapi aku tidak bisa terbang,” kata Georgia sedih.
Tiba-tiba dari langit masuklah remah-remah makanan yang terbang masuk ke
kamar Georgia lewat jendela. Mereka semua bercahaya dan nampak cantik.
Mereka lalu mengelilingi Georgia.
“Georgia … Georgia … ingatkah kamu pada kami? Kami adalah remah-remah
makanan sisa yang selalu kamu kumpulkan. Kami yang dibuang ini menjadi
berharga untukmu. Karena kebaikanmu, kami akan menghadiahkan sayap
untukmu, agar kamu bisa terbang,” ucap remah-remah makanan itu, mereka
lalu berubah menjadi sayap di punggung Georgia.
Georgia sangat bahagia, tubuhnya terasa sangat ringan dan kini dia bisa terbang. Georgia terbang berputar-putar sambil tertawa.
“Terimakasih, peri-peri makanan,” katanya.
“Georgia, sekarang kita berangkat ke negeri awan. Bukankah kamu sangat ingin pergi kesana?” tanya buah pisang terbang.
Mereka kemudian terbang ke negeri awan. Terbang jauh ke langit.
Iring-iringan nya terlihat seperti sekumpulan bintang yang bersinar
terang. Di negeri awan, mereka bermain bersama bintang dan bulan. Dan
kemudian, saat matahari datang sambil bernyanyi riang, sekumpulan
makanan terbang itu mengantar Georgia kembali ke rumah.
Sebelum pergi sekumpulan peri-peri makanan itu berkata, “Georgia,
berjanjilah untuk tidak bersedih lagi. Ketika kami bersedih, kamu selalu
berusaha membuat kami bahagia, karena itu, saat kamu bersedih, kami
ingin membuatmu bahagia. Ingatlah Georgia, kami selalu menyayangimu.”
Hari itu, Georgia sangat bahagia, karena dia tahu, saat dia tersenyum, teman-teman makanannya tentu ikut merasa senang.
Suatu hari, Georgia sakit dan tidak masuk sekolah. Ibunya membawa
Georgia ke dokter. Menurut dokter, Georgia terkena penyakit kegemukan.
Karena itu dia harus mengurangi porsi makannya. Georgia sedih sekali,
dia harus berpisah dengan kue-kue yang lezat itu, juga dengan burger dan
hotdog kesukaannya.
Sepulang dari dokter, ibunya sangat membatasi makanannya. Tapi
terkadang, saat ibunya tidak bisa mengawasinya, Georgia akan diam-diam
makan banyak. Hingga berat badannya tidak juga menurun, hal itu membuat
tubuh Georgia kian hari kian melemah.
Malam itu, sahabat-sahabat makanannya datang kembali. Tapi ada yang aneh
dengan mereka. Mereka semua menangis. Georgia sangat heran, dia lalu
bertanya.
“Kenapa kalian semua menangis? Adakah sesuatu yang buruk terjadi di negeri awan?”
“Georgia, kami sangat sedih … sangat sedih …,” ucap para peri makanan.
“Kenapa?” tanya Georgia lagi.
“Georgia, kami sangat ingin membuatmu bahagia. Tapi, karena kami, sekarang kamu malah sakit,” jelas peri makanan pisang.
“Iya, karena kami, badanmu semakin lemah,” kata peri makanan roti.
“Kenapa karena kalian aku sakit?” tanya Georgia tidak mengerti.
“Georgia, karena kamu makan terlalu banyak, kamu jatuh sakit,” jawab peri makanan wortel.
“Benar … benar,” sahut peri makanan lain.
“Georgia, makan itu baik, tetapi kita harus makan sesuai dengan
kebutuhan gizi kita. Segala sesuatu yang berlebihan itu tidak baik,”
kata peri makanan sosis.
“Berarti aku harus kurus ya?” tanya Georgia lagi.
“Georgia, kita tidak harus kurus, juga tidak harus gemuk. Tapi kita
harus sehat. Sehat itu tidak kurus juga tidak gemuk,” jawab peri makanan
pisang.
“Malam ini, kami tidak bisa menjadi sayapmu, karena badanmu terlalu
lemah untuk terbang,” ucap para peri remah makanan dengan wajah sendu.
“Georgia, memang kebahagiaan kami adalah ketika makanan tidak disisakan,
tapi kami lebih bahagia ketika kami bisa membuat tubuhmu sehat dan
kuat. Itulah arti kami sebenarnya di dalam tubuhmu,” tambah para peri
remah makanan.
“Georgia, maaf, kami tidak bisa menemuimu lagi …kami terlalu sedih. Maaf
Georgia … maaf Georgia …,” ucap para peri makanan sambil terbang
menjauh. Cahaya mereka terlihat semakin meredup.
Georgia sedih sekali, dia tidak ingin berpisah dengan teman-teman peri
makanannya. Paginya, Georgia sarapan secukupnya, dia tidak mengambil
makanan berlebihan. Begitupun ketika di sekolah. Bahkan ketika Ben
mengambil banyak makanan dan menyisakannya, Georgia lalu memarahi Ben.
Georgia, mengambil buku kesayangan Ben lalu membuangnya ke tempat
sampah. Ben kaget, lalu menangis.
“Ben, pernahkah kamu mendengar makanan menangis? Makanan akan sedih
ketika mereka di buang. Seperti Ben yang merasa sedih karena buku
kesayanganmu aku buang.”
Setelah itu Ben, tidak pernah menyisakan makanan lagi, malah dia selalu
mengingatkan teman-teman yang lain agar selalu menghabiskan makanannya.
Dunia Dalam Cermin
Sejak itu Kiki
selalu bersemangat mencari harta karun, setiap hari. Tentu saja harta
karun ini bukan berbentuk piala atau emas-emas batangan. Hartu karun
yang ditemukan Kiki adalah hal-hal kecil menyenangkan. Coklat berbentuk
koin, biskuit susu, sebotol kecil madu sampai mobil-mobilan. Kiki
menikmati setiap petualangan kecilnya. Kiki Tidak tahu, bagaimana
benda-benda itu bisa berada di sana. "Pasti ada Ibu Peri yang meletakkan
harta karun tersebut," pikir Kiki.
Kiki belum pernah
melihat Ibu Peri namun dia percaya suatu hari nanti mereka akan
bertemu. Kiki selalu percaya, ada Ibu Peri adalah perempuan bersayap
paling ajaib karena bisa menyediakan apa saja yang diinginkannya, cukup
dengan mengayunkan tongkat bintang berwarna perak berkilauan. Seperti
harta karun yang ditemukan dalam setiap petualangannya.
Pagi ini, Kiki
berjalan ke arah pepohonan, disana dia menemukan sekantung kelereng
berwarna-warni. Kiki sangat senang melihat itu, diambilnya segera dan
mulai memainkannya.
“Kikiiiii… Kiki,
ayo makan dulu” panggil Mama tiba-tiba dari kejauhan. Kiki tidak
mendengarkan panggilan Mama dan terus bermain kelereng.
“Ayo Kiki makan
dulu,” kata Mama yang sudah berada di samping Kiki sambil membawa
sepiring nasi dan lauk pauknya. Kiki melihat sekilas apa yang dibawa
Mamanya, sepotong ayam goreng dan sayur-sayuran tumis. Kiki tidak suka
sayur-sayuran.
“Nggak mau ah Ma, Kiki masih kenyang. Haha.. haha..” Kiki kembali sibuk dengan kelerengnya.
“Kiki, ayo makan
dulu. Supaya kamu punya tenaga untuk bermain lagi,” dengan sabar Mama
mengusap kepala Kiki dan mengambil kelereng dari tangan Kiki.
“Mama.. kembalikan.. Kiki masih ingin bermain..” tangan Kiki menggapai-gapai berusaha merebut kembali kelerengnya.
“Nanti Kiki boleh main lagi, tapi makan dulu ya..”
“Kiki mau makan coklat, nggak mau makan nasi..” Kiki merengek.
“Tidak boleh Ki,
nanti gigi kamu berlubang kalau makan coklat terus. Ayo sekarang makan
nasi dulu.. Ini ada ayam goreng kesukaan Kiki..” rayu Mama. Kiki
cemberut dan marah kemudian berlari ke arah pepohonan, menjauhi Mama.
Mama kewalahan mengejar-ngejar Kiki sambil berusaha menyuapi makanan.
“Kiki jangan
lari-lari, nanti kamu jatuh!” Kiki berlari-lari kesana kemari, pada saat
seperti itu dia membayangkan dirinya punya sayap dan sedang terbang.
Kiki terus berlari tanpa memperhatikan jalan. Dia jatuh tersandung akar
pohon yang besar. Kiki menangis sesenggukan. Mama menghampiri Kiki
dengan khawatir.
“Mama sudah bilang jangan lari-lari, nanti jatuh. Ayo kita masuk ke rumah, nanti Mama obati lukanya.”
Sebelum Mama
sampai ke tempat Kiki berada, Kiki berdiri kemudian berlari dan menabrak
Mama, makanan yang ada di tangan Mama terjatuh. Kiki tidak peduli dan
terus berlari menuju kamarnya. Kiki membanting pintu kamarnya dan
menguncinya rapat-rapat. Kiki menangis lagi di kasur.
“Kenapa sih Mama
tidak pernah mengerti keinginan Kiki? Kenapa Mama sangat suka melarang
Kiki? Kiki tidak boleh ini, tidak boleh itu! Kenapa Mama suka memaksa
Kiki melakukan hal-hal yang Kiki tidak suka? Mama jahat! Kiki mau ketemu
Ibu Peri aja!” ucap Kiki dalam hati.
“Kiki, buka
pintunya. Sini Mama obati dulu lukanya,” Mama mengetuk-ngetuk pintu
kamar Kiki. Kiki terus menangis tanpa menghiraukan Mama. Mama akhirnya
menyerah, menunggu sampai Kiki mau membukakan pintu kamar, agar bisa
mengobati lukanya.
Siang harinya
Kiki terbangun karena suara-suara ribut. Suara tawa anak-anak. Kiki
bangun dari kasurnya, mencari-cari sumber suara ribut tadi. Tapi tidak
ada siapapun di kamar itu kecuali dirinya sendiri.
“Sttt.. lihat dia jadi bangun” ucap seorang anak laki-laki.
“Iya dia bangun.
Tapi dia tidak tahu kita di mana. Lihat dia kebingungan, lucu sekali
ya,” timpal seorang anak perempuan. Lalu suara-suara tawa itu terdengar
lagi. Kiki semakin bingung, karena suara itu jelas terdengar dan sangat
dekat tetapi tidak ada satu sosok pun yang muncul. Kiki juga merasa
diperhatikan.
“Hei.. kami
disini..” suara anak perempuan itu lagi. Kali ini Kiki melirik ke arah
cermin besar dan panjang setinggi badan yang ada di kamarnya. Alangkah
terkejutnya Kiki ketika melihat ada lima sosok anak kecil berdiri di
dalam cermin itu. Tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan, mereka
memakai baju berwarna-warni dan mahkota terbuat dari dedaunan dan bunga.
Kiki ketakutan, berjalan mundur namun tersandung kasurnya sendiri. Kiki
merasakan lututnya yang terluka kembali sakit namun dilihatnya lutut
itu sudah diobati. Anak-anak dalam cermin itu terkikik. Perhatian Kiki
kembali ke dalam cermin.
“Hei jangan
takut, kami bukan hantu. Hei kemarilah mendekatlah ke dalam cermin” ujar
anak laki-laki lain. Masih dengan takut namun penuh rasa ingin tahu,
Kiki mendekati cermin.
“Kalian ini siapa? Kenapa bisa ada di dalam cermin kamarku?”tanya Kiki.
“Kami sama
seperti kamu, kami manusia yang ingin bebas melakukan apa saja, bebas
makan apa saja, tanpa aturan orang dewasa. Kami mendengar keluhanmu,
maka kami datang ke sini untuk menjemputmu,” ucap anak laki-laki yang
badannya paling tinggi di antara mereka.
“Lalu bagaimana aku bisa bersama kalian? Aku tidak bisa masuk ke dalam cermin.”
“Kami bisa masuk
ke dunia dalam cermin, kamu juga bisa. Nah sekarang yang perlu kamu
lakukan adalah menyentuh bayangan tanganku dalam cermin,” anak laki-laki
paling tinggi itu menyentuhkan tangannya ke cermin, sehingga Kiki bisa
melihat bayangan telapak tangan anak itu. Agak ragu-ragu Kiki
menyentuhkan tangannya ke dalam bayangan telapak tangan anak tadi.
Dengan ajaib tangan mereka bersentuhan dan tubuh Kiki bisa masuk ke
dalam cermin.
Tiba-tiba Kiki
berada di dunia dalam cermin. Dunia yang Kiki lihat dalam cerita-cerita
dongeng. Sinar matahari yang hangat seperti pagi hari, pepohonan rindang
dengan buah yang ranum, anehnya pohon-pohon itu memiliki buah yang unik
seperti coklat-coklat koin, biskuit susu, permen... Ada juga
pohon-pohon yang buahnya adalah berbagai jenis mainan seperti
mobil-mobilan, boneka, robot, buku gambar dan crayon. Di atas pohon
burung-burung berwarna emas membuat sarang, mereka berkicau merdu dengan
riang. Padang rumput yang terhampar luas, sungai kecil yang mengalir
dengan jernih, kupu-kupu terbang diantara bunga-bunga. Belum habis
ketakjuban Kiki, dia baru menyadari pakaiannya berubah menjadi anyaman
daun dan bunga, ringan dan nyaman, di atas kepala tersemat mahkota
mungil.
“Selamat datang di negeri cermin, namaku Tom.” Kata anak laki-laki yang badannya paling tinggi tersebut sambil mengulurkan tangan. Disusul dengan anak-anak lain yang bernama Mika, Bido, Tara, dan Roki. Tom berumur Sembilan tahun, Mika dan Bido berumur tujuh tahun, dan Roki seumur dengannya, lima tahun. Kiki diajak berkeliling untuk melihat-lihat dunia cermin. Betapa menyenangkannya hidup disini, semua hal yang diinginkan Kiki tersedia melimpah ruah. Buah coklat koin yang setiap kali dipetik akan tumbuh kembali, jus buah-buahan aneka rasa dari sumber mata air, dan berbagai jenis mainan baru hadir terus menerus.
Kiki dan teman-teman barunya bermain roller couster berbentuk bunga tulip mekar, mereka berkeliling negeri cermin. Kiki juga menaiki perahu berbentuk daun menyusuri sungai. Danau itu dinaungi pepohonan yang rapat, batang pohonnya menjuntai ke bawah sehingga dengan mudah setiap anak dapat mengambil buahnya kalau merasa lapar. Kiki juga bisa melihat dasar danau karena airnya jernih. Di dalam danau terdapat berbagai jenis tanaman air dan ikan. Kiki dapat menyentuh ikan-ikan itu dengan mudah dan bermain dengan mereka.
“Kita
bisa berenang untuk melihat langsung kehidupan di dalam danau,” Mika menjelaskan dengan bangga.
“Lihat
buah pohon yang seperti gelembung sabun, tinggal memakaikannya ke kepala, maka
kita bisa bernafas di dalam danau,” Bido menunjuk
sebuah pohon besar dengan buah seperti gelembung sabun.
“Nanti
saja, sekarang kita berkeliling dulu melihat-lihat danau dari atas,” ujar Tom.
Kiki hanya mengangguk, baginya melihat-lihat danau dari atas perahu maupun
dalam danau sama menariknya, tapi tidak perlu terburu-buru karena Kiki akan
berada di sana terus.
Tak
terasa hari telah menjelang malam, Tom mengantarkan Kiki ke sebuah rumah besar.
Di situ terdapat banyak kasur berderet-deret. Kasur yang dilengkapi
bantal-bantal besar. Lengkap dengan selimut hangat dan untuk kasur anak
perempuan ada banyak boneka.
“Tempat
tidurmu disini, sebelah tempat tidurku,” kata Tom. Seketika itu juga pakaian
mereka berubah menjadi piyama.
“Sudah
waktunya tidur? Apa kita tidak cuci muka dan gosok gigi?” Tanya Kiki mengingat
kebiasaan sebelum tidur yang diajarkan Mama. Tiba-tiba Kiki teringat Ibu
Peri.
“Iya
tentu saja, sekarang sudah jam delapan malam. Kita tidak perlu cuci muka dan
gosok gigi karena dengan sendirinya badan kita menjadi bersih begitu masuk ke
dalam rumah,” jawab Tom.
“Tom,
apakah di negeri cermin ini ada Ibu Peri?” tanya Kiki. Tom menggeleng.
“Negeri
cermin adalah negeri bagi anak-anak, di sini tidak ada Ibu Peri, karena Ibu
Peri adalah orang dewasa.”
“Oh..” Kiki kecewa.
“Tom,
kenapa kau bisa berada di negeri cermin ini?” tanya Kiki lagi.
“Ceritanya
panjang.. aku sudah sangat lama berada di sini..” Tom menarik nafas panjang,
matanya melihat jauh ke masa lalu. Tom kemudian menceritakan asal muasal kenapa
dia bisa berada di negeri Cermin. Tom adalah anak kesembilan dari sepuluh
bersaudara dalam keluarganya, keluarganya sangat miskin sehingga kakak-kakak
atau adik Tom dititipkan pada sanak keluarga ayah atau ibunya. Karena Tom anak
yang cukup nakal, maka tidak ada sanak keluarga yang mau menampungnya, tidak
juga orang tuanya sendiri. Kesendirian Tom memanggil negeri cermin untuk
menjemputnya.
Tom
mengatakan bahwa kebanyakan penghuni negeri cermin ini adalah anak-anak yang
tidak memiliki cinta orang tuanya, mereka anak-anak yang tidak diinginkan orang
tuanya. Mika misalnya, sejak kecil dia hidup di rumah yatim piatu. Dalam rumah
yatim piatu itu anak-anak datang silih berganti karena ada yang mengambil
mereka sebagai anak, namun tidak ada orang dewasa yang tertarik pada Mika yang
penakut dan pendiam. Tom juga menjelaskan, tidak semua anak dapat memanggil
negeri cermin, hanya mereka yang percaya, yang
dapat masuk ke dalam negeri cermin. Kiki hanya mengangguk-angguk mendengar
penjelasan Tom.
“Tom
apa yang terjadi di negeri asal kita? Apakah tubuhku ada di sana? Apakah kita
bisa keluar dari negeri cermin ini?” Kiki memberondong Tom dengan pertanyaan.
Tom menghelas nafas panjang lagi sebelum menjawab pertanyaan Kiki. Tom mengajak
Kiki ke sebuah Cermin di tengah rumah itu.
“Ini
adalah pintu masuk kita ke dalam negeri cermin. Tubuh kita telah masuk ke dalam
negeri cermin, hanya anak di bawah sepuluh tahun yang bisa masuk ke sini. Di
luar sana waktu akan terus berjalan, tapi umur kita tidak bertambah, kita akan
terus menjadi anak-anak. Cermin ini merupakan pintu keluar kita juga, tapi kita
tidak akan bisa keluar sampai menemukan kuncinya.
“Di mana
kuncinya Tom?”
“Tidak
ada dimana-mana, kami tidak pernah tahu dimana kuncinya. Oya, kalau kau ingin
melihat dunia dimana kamu dulu tinggal, kamu bisa melihatnya dari cermin ini
juga.” Ucap Tom sambil berjalan pergi.
Sepeninggal Tom, Kiki
memperhatikan kehidupan di balik negeri cermin. Kiki melihat Mama sedang
menaruh benda-benda kecil di halaman rumahnya, Mama menyimpannya dengan
hati-hati agar benda-benda itu tidak terlihat namun juga tidak terlalu
tersembunyi. Benda-benda itu adalah sebungkus coklat, robot kecil, dan biskuit.
Kiki akhirnya tahu bahwa yang meletakkan harta karun itu bukanlah Ibu Peri
melainkan Mama. Setelah selesai menaruh benda-benda kecil itu Mama menyiapkan
makanan untuknya. Menyiapkan perban dan obat-obatan. Lalu Mama berjalan ke arah
kamar Kiki. Betapa terkejutnya Mama ketika melihat kamar itu kosong, dengan
tergesa-gesa Mama mencari Kiki di seluruh penjuru rumah, namun Kiki tidak ada.
Kiki sedih melihat Mama
mencari-carinya, “Mama, Kiki disini,” ucapnya sambil melambaikan tangan. Tapi
Mama tidak bisa melihatnya.
“Kiki, kamu dimana?
Marah ya sama Mama? Maafin Mama ya Ki.. Mama sangat menyayangi Kiki.” Mama menangis di kamar Kiki. Kiki merasa sedih karena Mama
menangis. Kiki merasa beruntung punya Mama yang menyayanginya, jauh lebih
beruntung dari pada anak-anak di sini. Kiki menyadari sesuatu, Ibu Peri yang
selama ini dia cari selalu ada bersamanya.
“Mama,
Kiki mau pulang,
tapi Kiki tidak punya kunci pintu dunia cermin. Kiki juga sayang sama
Mama”
Kiki bergumam sambil menangis. Usai mengucapkan kata itu tiba-tiba ada
cahaya
yang keluar dari air mata Mama dan Kiki. Cahaya itu menembus negeri
Cermin,
baik Kiki, Mama, maupun anak-anak lain terkaget-kaget melihat cahaya
itu. Cahaya itu kemudian berubah menjadi kunci bersayap berwarna perak.
Kunci itu
membuka pintu negeri cermin. Tom dan anak-anak seisi negeri cermin
menghampiri
Kiki dan pintu cermin.
“Pulanglah Ki, ada seorang
ibu yang mencintaimu. Pintu itu akan terbuka jika ada orang yang begitu
mencintai kita mengharapkan kita kembali. Kiki sangat beruntung memiliki Mama.”
Tom menghampiri Kiki dan memeluknya. Kiki menjadi lebih sedih karena Kiki
menyukai negeri cermin ini dan teman-teman barunya. Melihat keraguan itu, Tom
tersenyum.
“Pulanglah Ki, kamu
bisa datang kapan saja ke sini. Kamu punya kunci negeri cermin.” Mendengar itu
Kiki menjadi lega, ia melambai kepada seluruh penghuni negeri cermin. Kiki
melangkah masuk ke dalam cermin.
Dalam kamar Kiki, Mama
yang juga melihat air matanya menjadi sinar terkejut melihat kedatangan Kiki.
Mama mengucek matanya tak percaya, Kiki keluar dari dalam cermin. Kiki segera
menghambur ke dalam pelukan Mama. Mama dan Kiki menangis bersama.
“Kiki datang Ibu
Peri..” bisik Kiki di telinga Mama. Mama tersenyum dan memeluk Kiki lebih erat.
Kiki kini bisa menghargai Mama sebagai orang yang mencintainya sepenuh hati. Di
luar sana banyak anak yang mengharapkan cinta seorang Mama, Kiki tahu, dia anak
yang beruntung.
Langganan:
Postingan (Atom)