Sabtu, 24 November 2012

Kutukan Raja Maritim

Pada zaman dahulu, terdapatlah sebuah kerajaan di Pulau Mintin daerah Kahayan Hilir. Kerajaan itu sangat terkenal akan kearifan rajanya. Akibatnya, kerajaan itu menjadi wilayah yang tenteram dan makmur.


Pada suatu hari, permaisuri dari raja tersebut meninggal dunia. Sejak saat itu raja menjadi murung dan nampak selalu sedih. Keadaan ini membuatnya tidak dapat lagi memerintah dengan baik. Pada saat yang sama, keadaan kesehatan raja inipun makin makin menurun. Guna menanggulangi situasi itu, raja berniat untuk pergi berlayar guna menghibur hatinya.

Untuk melanjutkan pemerintahan maka raja itu menyerahkan tahtanya pada kedua anak kembarnya yang bernama Naga dan Buaya. Mereka pun menyanggupi keinginan sang raja. Sejak sepeninggal sang raja, kedua putranya tersebut memerintah kerajaan. Namun sayangnya muncul persoalan mendasar baru.

Kedua putra raja tersebut memiliki watak yang berbeda. Naga mempunyai watak negatif seperti senang berfoya-foya, mabuk-mabukan dan berjudi. Sedangkan buaya memiliki watak positif seperti pemurah, ramah tamah, tidak boros dan suka menolong.

Melihat tingkah laku si Naga yang selalu menghambur-hamburkan harta kerajaan, maka si Buayapun marah. Karena tidak bisa dinasehati maka si Buaya memarahi si Naga. Tetapi rupaya naga ini tidak mau mendengar. Pertengkaran itu berlanjut dan berkembang menjadi perkelahian. Prajurit kerajaan menjadi terbagi dua, sebahagian memihak kepada Naga dan sebagian memihak pada Buaya. Perkelahian makin dahsyat sehingga memakan banyak korban.

Dalam pelayarannya, Sang raja mempunyai firasat buruk. Maka ia pun mengubah haluan kapalnya untuk kembali ke kerajaanya. Betapa terkejutnya ia ketika menyaksikan bahwa putera kembarnya telah saling berperang. Dengan berang ia pun berkata,"kalian telah menyia-nyiakan kepercayaanku. Dengan peperangan ini kalian sudah menyengsarakan rakyat. Untuk itu terimalah hukumanku. Buaya jadilah engkau buaya yang sebenarnya dan hidup di air. Karena kesalahanmu yang sedikit, maka engkau akan menetap di daerah ini. Tugasmu adalah menjaga Pulau Mintin. Sedangkan engkau naga jadilah engkau naga yang sebenarnya. Karena kesalahanmu yang besar engkau akan tinggal di sepanjang Sungai Kapuas. Tugasmu adalah menjaga agar Sungai Kapuas tidak ditumbuhi Cendawan Bantilung."

Setelah mengucapkan kutukan itu, tiba-tiba langit gelap dan petir menggelegar. Dalam sekejap kedua putranya telah berubah wujud. Satu menjadi buaya. Yang lainnya menjadi naga.



Kamis, 22 November 2012

Hati Emas si penggembala Kambing






 
Dahulu, pada masa khalifah Amirul Mu’minin Umar bin Khattab r.a., ada seorang anak muda yang menggembala kambing beratus-ratus banyaknya. Rupanya, dia adalah seorang budak. Suatu hari, Sayyidina Umar yang sedang berkeliling negerinya, melihat si anak dengan kambing gembalaanya yang sangat banyak itu. Dengan penuh keuletan dan kasih sayang, anak itu menggembala kambing-kambingnya. Dia juga sangat bertanggungjawab menjaga kambing-kambingnya agar tidak hilang seekor pun. Sayyidina Umar pun kagum pada kebaikan pekerti si anak. Melihat itu semua, muncul keinginan Amirul Mu’minin Umar bin Khattab untuk mengujinya. Beliau ingin tahu apakah syi’ar Islam telah sampai ke daerah itu.
Sayyidina Umar yang saat itu sedang menyamar sebagai orang biasa memanggilnya. “Wahai anak muda, aku sangat tertarik pada kambing-kambingmu ini”. “Bolehkah aku beli seekor?”, tanya Sayyidina Umar. “Jangan Tuan, kambing-kambing ini bukan punya saya, melainkan punya majikan saya”, jawab si anak. Sayyidina Umar tidak berhenti begitu saja. “Ah…, kalau dijual seekor saja, tentu majikanmu tidak akan tahu”, lanjut Sayyidina Umar mengujinya. Dengan cepat dan di luar dugaan, anak itu pun menjawab. “Kalau begitu, dimana Allah ya Tuan?”
Kaget, kagum, dan terpesona bercampur jadi satu dirasakan Amirul Mu’minin. Betapa kuatnya ketaqwaan anak muda itu. Dia percaya bahwa Allah maha melihat apa saja yang dikerjakan manusia. Walaupun majikannya tidak tahu, tapi Allah pasti tahu. Lalu, Sayyidina Umar pun menemui sang majikan dan membeli budaknya untuk dimerdekakan. Subhanallah.

legenda Batu Menangis

Batu Menangis

Kalimantan Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang terletak di Pulau Kalimantan dan berbatasan langsung dengan Sarawak, Malaysia Timur. Provinsi ini memiliki ratusan sungai besar dan kecil, sehingga dijuluki sebagai wilayah “Seribu Sungai”. Menurut cerita, di sebuah daerah di provinsi ini ada seorang gadis cantik yang menjelma menjadi batu. Peristiwa apa yang menimpa gadis itu, sehingga menjelma menjadi batu? Ingin tahu cerita selengkapnya? Ikuti kisahnya dalam cerita Batu Menangis Berikut ini!
* * *

Alkisah, di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi. Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.
Sementara putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah, ia selalu menolak.

”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu.

”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.

”Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba.

”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.

Mendegar jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk dibelikan alat-alat kecantikan.

”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada Ibunya.

”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,” ujar sang Ibu.

”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata Darmi.

”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.

Meskipun marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya, ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian terjadi hampir setiap hari.

Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar, Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.

”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya.

”Aku tidak mau pergi ke pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya.

”Tapi, Ibu tidak tahu alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya.

Namun setelah didesak, Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar.

”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.
”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran.

”Aku malu kepada orang-orang kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi.

”Kenapa harus malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu.

”Ibu seharusnya berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu! Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan Ibunya.

Walaupun sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus, sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan penuh tambalan.

Di tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu.

”Ke pasar!” jawab Darmi dengan pelan.
”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya lagi temannya sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang.

”Tentu saja bukan ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis.

Laksana disambar petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang.

”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu.

”Hendak ke pasar,” jawab Darmi singkat.

”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu.

”Dia pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu.

Jawaban yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu masih kuat menahan rasa sedihnya. Begitulah yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya, sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan.

”Bu! Kenapa berhenti?” tanya Darmi heran.

Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas.

”Hei, Ibu sedang apa?” tanya Darmi dengan nada membentak.

Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.

”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!” doa sang Ibu.
Beberapa saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan, kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik.

”Ibu...! Ibu... ! Apa yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak.

”Maafkan Darmi! Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin panik.

Namun, apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat kita saksikan hingga sekarang.

* * *

Demikian cerita dari daerah Kalimantan Barat, Indonesia. Cerita di atas termasuk cerita teladan yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan sebagai pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah akibat yang ditimbulkan dari sikap durhaka terhadap orang tua. Oleh karena itu, seorang anak harus hormat dan patuh kepada kedua orang tuanya, karena doa ibu akan didengar oleh Tuhan.

Terkait dengan sifat durhaka ini, dalam tunjuk ajar Melayu dikatakan:

kalau hidup mendurhaka,
kemana pergi akan celaka

kalau suka berbuat durhaka,
orang benci Tuhan pun murka
.

kumpulan cerita dongeng fabel

FABEL KANCIL DAN SIPUT LOMBA LARI

Suatu hari kancil bertemu dengan siput dipinggir kali. Melihat siput merangkak dengan lambatnya, sang kancil dengan sombong dan angkuhnya berkata.

Kancil : “Hai siput, beranikah kamu lomba lari denganku ?”
( ajakan terasa sangat mengejek siput, berpikir sebentar, lalu menjawab )
Siput : “Baiklah, aku terima ajakanmu dan jangan malu kalau nanti kamu sendiri yang kalah.”
Kancil : “Tidak bisa, masa jago lari sedunia mau dikalahkan olehmu, siput, binatang perangkak kelas wahid di dunia.” ejek kancil.
Kancil : “Baiklah, ayo cepat kita tentukan larinya !” jawab kancil.
Siput : “Bagaimana kalau hari minggu besok, agar banyak yang menonton.” Kata siput.
Kancil : “Oke, aku setuju.” Jawab kancil.

Sambil menunggu hari yang telah ditentukan itu, siput mengatur taktik. Segera dia kumpulkan bangsa siput sebanyak-banyaknya. Dalam pertemuan itu, siput membakar semangat kawan-kawannya dan dengan geram mereka ingin mempermalukan kancil dihadapan umum. Dalam musyawarah itu, disepakatilah dengan suara bulat bahwa dalam lomba nanti setiap siput ditugaskan berdiri diantara rerumputan di pinggir kali. Diaturlah tempat mereka masing-masing. Bila kancil memanggil maka siput yang didepannya itu yang menjawab begitu seterusnya.

Sampailah saat yang ditunggu itu. Penonton pun sangat penuh. Para penonton datang dari semua penjuru hutan.

Kancil dan siput telah bersiap digaris start. Pemimpin lomba mengangkat bendera, tanda lomba di mulai. Kancil berlari sangat cepatnya. Semua tenaga dikeluarkannya. Tepuk tangan penonton kian menggema, memberi semangat kepada kancil. Setelah lari sekian kilometer, berhentilah kancil. Sambil napas terengah-engah dia memanggil.

Kancil : “Siput !” seru kancil.
Siput : “Ya, aku disini.”

Karena siput telah berada didepannya, kancilpun kembali lari sangat cepat sampai tidak ada lagi tenaga yang tersisa. Kemudia dia pun memanggil.

Kancil : “Siput !” teriak kancil lagi.
Siput : “Ya, aku disini.”

Berkali-kali selalu begitu. Sampai pada akhirnya kancil lunglai dan tak dapat berlari lagi. Menyerahlah sang kancil dan mengakui kekalahannya. Penonton terbengong-bengong.

Siput menyambut kemenangan itu dengan senyuman saja. Tidak ada loncatan kegirangan seperti pada umumnya pemenang lomba.

 Monyet dan Ayam

Pada suatu zaman, ada seekor ayam yang bersahabat dengan seekor monyet. Si Yamyam dan si Monmon namanya. Namun persahabatan itu tidak berlangsung lama, karena kelakuan si Monmon yang suka semena-mena dengan binatang lain. Hingga, pada suatu petang si Monmon mengajak Yamyam untuk berjalan-jalan. Ketika hari sudah petang, si Monmon mulai merasa lapar. Kemudian ia menangkap si Yamyam dan mulai mencabuti bulunya. Yamyam meronta-ronta dengan sekuat tenaga. “Lepaskan aku, mengapa kau ingin memakan sahabatmu?” teriak si Yamyam. Akhirnya Yamyam, dapat meloloskan diri.

Ia lari sekuat tenaga. Untunglah tidak jauh dari tempat itu adalah tempat kediaman si Kepiting. si Kepiting merupakan teman Yamyam dari dulu dan selalu baik padanya. Dengan tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam lubang rumah si Kepiting. Di sana ia disambut dengan gembira. Lalu Yamyam menceritakan semua kejadian yang dialaminya, termasuk penghianatan si Monmon.

Mendengar hal itu akhirnya si Kepiting tidak bisa menerima perlakuan si Monmon. Ia berkata, “Mari kita beri pelajaran si Monmon yang tidak tahu arti persahabatan itu.” Lalu ia menyusun siasat untuk memperdayai si Monmon. Mereka akhirnya bersepakat akan mengundang si Monmon untuk pergi berlayar ke pulau seberang yang penuh dengan buah-buahan. Tetapi perahu yang akan mereka pakai adalah perahu buatan sendiri dari tanah liat.

Kemudian si Yamyam mengundang si Monmon untuk berlayar ke pulau seberang. Dengan rakusnya si Monmon segera menyetujui ajakan itu karena ia berpikir akan mendapatkan banyak makanan dan buah-buahan di pulau seberang. Beberapa hari berselang, mulailah perjalanan mereka. Ketika perahu sampai di tengah laut, Yamyam dan kepiting berpantun. Si Yamyam berkokok “Aku lubangi ho!!!” si Kepiting menjawab “Tunggu sampai dalam sekali!!”

Setiap kali berkata begitu maka si Yamyam mencotok-cotok perahu itu. Akhirnya perahu mereka itu pun bocor dan tenggelam. Si Kepiting dengan tangkasnya menyelam ke dasar laut, sedangkan Si Yamyam dengan mudahnya terbang ke darat. Tinggallah Si Monmon yang berteriak minta tolong karena tidak bisa berenang. Akhirnya ia pun tenggelam bersama perahu tersebut.


 

Laba-Laba, Kelinci Dan Sang Bulan

 

 


Sang bulan terlihat sedih karena sudah lama ia melihat banyak kejadian di dunia dan juga melihat banyak ketakutan yang dialami oleh manusia. Untuk membuat manusia menjadi tidak takut, sang bulan berupaya mengirimkan pesan kepada manusia melalui temannya sang laba-laba yang baik hati.

"Hai sang laba-laba, manusia di bumi sangatlah takut untuk mati dan hal itu membuat mereka menjadi sangat sedih. Cobalah tenangkan manusia-manusia itu bahwa cepat atau lambat manusia pasti akan mati, sehingga tidak perlu mereka untuk merasa sedih", seru sang Bulan kepada temannya sang laba-laba.

Dengan perlahan-lahan sang laba-laba turun kembali ke bumi, dan dengan sangat hati-hati ia meniti jalan turun melalui untaian sinar bulan dan sinar matahari. Di perjalannnya turun ke bumi, sang laba-laba bertemu dengan si kelinci.

"Hendak kemanakah engkau hai sang laba-laba ?" tanya si kelinci penuh rasa ingin tahu. "Aku sedang menuju bumi untuk memberitahukan manusia-manusia pesan dari temanku sang Bulan" sahut sang laba-laba menjelaskan. "oohh perjalananmu sangatlah jauh wahai sang laba-laba. Bagaimana jika kamu memberitahukan pesan sang Bulan kepadaku dan aku akan membantumu memberitahukan kepada manuisa-manusia itu" seru si kelinci. "hemm.. baiklah, aku akan memberitahukan pesan dari sang Bulan kepadamu." jawab sang laba-laba. "Sang Bulan ingin memberitahukan manusia-manusia di bumi bahwa mereka akan cepat atau lambat mati ....." lanjut sang laba-laba.

Belum habis sang laba-laba menjelaskan, si kelinci sudah meloncat pergi sambil menghapalkan pesan sang laba-laba. " Yah, beritahukan manusia bahwa mereka semua akan mati" serunya sambil meloncat-loncat dengan cepatnya. Sang Kelinci memberitahukan manusia pesan yang diterimanya. Manusia menjadi sangat sedih dan ketakutan.

Sang laba-laba segera kembali kepada sang Bulan dan memberitahukan apa yang terjadi. Sang bulan sangat kecewa dengan si kelinci, dan ketika si kelinci kembali sang bulan mengutuk si kelinci karena telah lalai mendengarkan pesan sang Bulan dengan lengkap.

Karena itu sampai saat ini si kelinci tidak dapat bersuara lagi. Bagaimana dengan sang laba-laba? Sang bulan menugaskan sang laba-laba untuk terus menyampaikan pesan kepada manusia-manusia di bumi tanpa boleh menitipkan pesannya kepada siapapun yang dijumpainya. Oleh karena itu sampai pada saat ini kita masih dapat melihat sang laba-laba dengan tekunnya merajut pesan sang bulan di pojok-pojok ruangan. Namun berapa banyakkah dari kita manusia yang telah melihat pesan sang Bulan tersebut?